Segelintir Realitas Miris Negeri Kita
Media massa, apapun bentuknya, merupakan sarana yang dapat digunakan oleh publik untuk mengontrol gerak-gerik penguasa negeri. Dari media massa kita bisa melihat bagaimana konyolnya perilaku para anggota DPR yang terhormat dalam menggunakan alokasi dana operasional mereka. Beberapa data yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok pemerhati parlemen menyebutkan bahwa sebagian besar penggunaan dana tersebut adalah untuk biaya pengadaan barang. Sebut saja renovasi ruang banggar yang mencapai Rp. 20 M lebih, renovasi toilet yang mencapai Rp. 2 M lebih, dan kita juga mendengar adanya pengadaan kalender yang mencapai Rp. 1.3 M. Hal tersebut terasa begitu sangat ironis ketika media massa mendapati bagaimana susahnya anak-anak sekolah di Banten yang harus menyebrangi sungai menggunakan jembatan yang sudah hampir putus. Ada lagi berita hari ini yang isinya masih seputar sarpras pendidikan, yaitu robohnya bangunan sekolahan yang ada di salah satu SD di Banten. Pendidikan adalah hal dasar yang harus dimiliki oleh setiap insan negeri dan seharusnya diberikan prasarana yang minimal memadai. Dan terasa sangat tidak pantas lagi jika kita melihat realitas keadaan beberapa pelosok daerah negeri ini yang maih jauh dari kata layak. Ditambah lagi ketika kita melihat bagaimana perilaku lucu mereka yang saling mengambinghitamkan dan tidak mau disalahkan kemudian saling melempar aksi tidak tahu menahu. Maka tidak heran jika kemudian banyak hujatan yang ditujukan kepada para anggota dewan yang terhormat tersebut.
Dari serangkaian kejadian di DPR kita beralih ke ranah eksekutif. Pembahasan terbaru adalah mengenai pengadaan alat utama sistem perenjataan, atau yang lebih familiar dengan sebutan alutista, yaitu berupa pembelian tank leopard buatan Belanda sebanyak lebih dari 100 unit. Hal tersebut mengundang sejumlah kritikan bahwa kondisi geografis Indonesia tidak cocok dengan kendaraan tempur tersebut. Indonesia, dengan karakter negara kepulauan, dirasa lebih cocok menggunakan kendaraan tempur udara dan laut sebagai sarana pertahanan negara terhadap serangan musuh. Selain pembahasan tersebut, masyarakat juga disuguhi dengan serangkaian pemberitaan kasus-kasus korupsi yang terjadi di beberapa kementrian negara. Kasus Bank Century yang tidak kunjung usai dan kasus-kasus korupsi lainnya yang terkesan hanya jadi sebuah drama politik saja, atau bisa disebut sebagai sinetron yang selalu bersambung dan tidak ada kejelasan di setiap akhir episodenya.
Maka menjadi tidak mengherankan apabila kemudian muncul aksi massa yang terkadang tidak masuk dalam akal sehat manusia normal. Aksi jahit mulut dan mogok makan kerap menjadi warna berita tersendiri di media massa. Dan yang paling konyol adalah aksi sok patriotik yang dilakukan seorang mahasiswa dengan membakar dirinya sebagai bentuk ketidakpuasan dirinya dan mungkin kita semua terhadap rendahnya etos kepemimpinan para penguasa negeri ini. Kegagalan penguasa dalam menjalankan negeri ini sesuai harapan rakyat adalah kambing hitam yang harus segera disembelih.
Pembenahan Kebijakan Publik di Indonesia
Dalam teori Pareto disebutkan bahwa kebijakan publik adalah faktor 20 % yang menyebabkan terjadinya 80 %. Teori ini, jika dipahami secara mendasar, akan memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa kebijakan publik merupakan faktor kritikal yang akan menentukan kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Dr. Riant Nugroho, spesialis kebijakan publik, menyebutkan bahwa sehebat apapun demokrasi yang dihasilkan dari suatu sistem politik, tetapi jika sistem politik yang demokratis itu tidak mampu menghasilkan kebijakan publik yang unggul maka tidak akan ada gunanya. Kebijakan merupakan output paling nyata dan paling utama dari sebuah sistem politik. Demikian halnya dengan Indonesia, sebagai negara berkembang Indonesia harus mampu menghasilkan kebijakan yang benar-benar dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan sosial masyarakat (bukan hanya segelintir elite saja) dan mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya . Pancasila sebagai ideologi bangsa harus benar-benar menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan negara.
Kebijakan publik memiliki dua aliran dalam perkembangan keilmuannya. Dr. Riant Nugroho, dalam bukunya Public Policy tahun 2008, menjelaskan dua aliran kebijakan publik tersebut. Aliran pertama adalah Kontinentalis. Pemahaman ini melihat bahwa kebijakan publik adalah turunan dari hukum, bahakan kerap mepersamakan antara kebijakan publik dengan hukum, utamanya hukum publik ataupun hukum tata negara, sehingga kita melihatnya sebagai proses interaksi di antara institusi-institusi negara. Dilihat dari sisi prosesnya, hukum merupakan produksi dari negara dan pemerintah, sehingga rakyat (publik) lebih berposisi sebagai konsumen atau dengan kata lain hanya menjadi penerima dari perilaku penguasa negara. Tokoh yang mengawali munculnya aliran kontinentalis ini adalah Napoleon Bonaparte dengan konsep negara hukum yang diterapkannya ketika menjadi kaisar pada tahun 1793. Pemahaman kontinentalis diterapkan oleh sebagaian besar negara-negara di benua Eropa. Hitler adalah tokoh paling ekstrim dalam aliran kontinentalisnya ketika menjadi penguasa di Jerman yang kemudian kita sering mendengarnya sebagai loyalitas beku ala nazi yang serba militer, serba negara dan serba diatur.
Aliran kedua dalam kebijakan publik adalah Anglo-Saxonist. Aliran ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan publik adalah sebuah proses politik yang demokratis. Pemahaman ini diawali dari pemikiran liberal, dengan tokohnya John Stuart Mills (1806-1873), yang memberikan gagasan bahwa semua orang mempunyai hak dan kebebasan yang sama. Prinsip tersebut sebangun dengan egalitarianisme yang dikembangkan dalam revolusi Prancis dan dalam gerakan reformasi Martin Luther. Konsep egalitarianisme sendiri tidak berhenti pada tingkatan antar individu saja, tetapi antar individu dengan negara, yang menempatkan kebijakan publik sebagai sebuah proses yang meletakkan setiap individu masyarakat sebagai bagiannya. Sehingga jika kita kaitkan dengan demokrasi, yang merupakan pilihan bangsa ini dalam menjalankan roda pemerintahannya, pelibatan rakyat dalam setiap proses politiknya adalah sesuatu yang harus ada terutama dalam agenda perumusan kebijakan publik. Dan harus menjadi auto-koreksi bahwa pelibatan tersebut tidak hanya sebatas pada pemilihan umum (pemilu) saja dan berhenti setelah pemilu usai.
Kita memang harus menerima kenyataan bahwa negeri kita ini memiliki bentangan yang sangat luas dan dipenuhi dengan etnis suku bangsa yang berbeda-beda. Tidak ada negara lain di dunia yang sehebat Indonesia. Negara dengan sekian banyak keanekaragaman suku-budaya masih bisa bertahan selama lebih dari setengah abad. Kekayaan budaya tersebut harus bisa diakomodasi oleh sistem politik di negeri ini dan sistem keterwakilan adalah jawaban dari hal tersebut. Namun sayangnya keterwakilan tersebut hanya dijadikan sebagai kedok oleh beberapa elite politik. Sebelum pemilu digelar kita disuguhi dengan koar-koar janji para caleg, impian setinggi langit mengenai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kerap kita jumpai juga upaya-upaya dari para caleg tersebut melakukan aksi bagi-bagi uang sebagai legitimasi atas dirinya dan janji-janjinya. Bahkan, dalam pandangan saya pribadi, para caleg tersebut secara tidak langsung merendahkan derajat cqlon pemilihnya dengan memberikan suguhan kampanye yang bernuansa hedonistik. Rakyat dibuai dengan kesenangan-kesenangan panggung yang sarat dengan erotisme penyanyi dangdut. Sangat sedikit kampanye yang edukatif dan seringkali memberikan judgement negatif terhadap kompetitornya. Beberapa hal tersebut jika tidak dibendung oleh kebijakan yang pro terhadap kemajuan bangsa maka ketika pemilu dimulai di saat itulah sebenarnya agenda pembodohan dan perendahan derajat bangsa ini dimulai. Perbaikan terhadap mekanisme pemilu mutlak diperlukan agar para legislator benar-benar memiliki kredibilitas yang mumpuni serta kapabel dalam mengurusi kepentingan rakyat banyak.
Kebijakan publik yang ada di Indonesia memang masih condong ke arah kontinentalis. Hal ini bisa kita pahami bahwa 3.5 abad kependudukan Belanda di Indonesia telah mewariskan corak yang begitu kental dalam agenda politiknya dimana kebijakan publik di Indonesia masih identik dengan hukum. Hal ini juga diungkapkan oleh Dr. Riant Nugroho (spesialis kebijakan yang menurut saya sangat inspiratif) di tahun 2008 bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir agenda untuk legal drafting mencapai 80% atau lebih, sementara agenda untuk membangun kapasitas pengembangan kebijakan publik yang bukan dalam makna hukum hanya mencapai 20%. Tidak ada yang salah dengan hal itu karena pada hakikatnya hukum diciptakan untuk memberikan sebuah tatanan yang teratur dan memberikan keadilan yang merata untuk setiap lapisan sosial ekonomi masyarakat bangsa-negara. Permasalahannya adalah ketika hukum tersebut memiliki muka dua. Dia menggunakan wajah yang begitu seram dan menakutkan ketika berhadapan dengan rakyat yang lemah secara ekonomi dan dengan begitu radikal dia merubah wajahnya menjadi begitu lembut dan ramah ketika berhadapan dengan para elite yang memiliki kemampuan ekonomi lebih. Terlebih lagi ketika berhadapan dengan tersangka koruptor dia akan memberikan wajah terlembutnya dan menawarkan dirinya untuk dilahap dengan sekali lahapan yang besar.
Secara normatif kebijakan Publik haruslah dirumuskan berdasarkan interaksi yang terjadi antara negara dengan tiap-tiap individu masyarakat. Anggota dewan sebagai representasi publik adalah jalan terdekat bagi negara untuk berinteraksi dengan rakyatnya. Dengan premis yang demikian maka harus disadari oleh setiap anggota dewan bahwa agenda utama mereka adalah membawa aspirasi rakyat agar bisa diakomodir oleh pemerintah. Anggota dewan harus ikhlas dengan amanah tersebut dan harus mawas diri dengan segala kemewahan fasilitas yang diterimanya. Anggaran yang dimiliki oleh anggota haruslah diprioritaskan untuk penjaringan aspirasi konstituennya serta meminta rincian monitoring dan evaluasi dari daerah pilihannya mengenai hasil kerja yang telah dicapainya. Anggota dewan adalah pelayan maysarakat terutama masyarakat yang tidak mampu dan terpelosok serta terpinggirkan dari agenda-agenda pembangunan negara. Jika normatifitas ini dipahami dan dijalankan oleh para legislator di negara ini maka saya yakin tidak akan lama lagi Indonesia akan menjadi bangsa yang ramah terhadap rakyatnya sendiri.
Demikian halnya dengan para eksekutif negara ini. Presiden sebagai sosok tertinggi dan bermartabat dalam pemerintahan harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang mensejahterakan. Presiden harus memberikan arahan kebijakannya kepada para menterinya agar benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat yang belum sejahtera. Presiden harus tegas memberikan arahan kepada menterinya agar ikhlas menolak ketika ada korporasi, baik dari dalam dan luar negeri, yang beritikat tidak baik seperti misalnya memberikan uang pelicin dan sebagainya. Dan sekali lagi Presiden harus memberikan arahan kepada para menterinya agar menjalankan proyek-proyek pembangunan, yang harus diprioritaskan ke daerah-daerah tertinggal, dengan sebenar-benarnya tanpa harus mengambil satu rupiahpun dari proyek tersebut. Dan yang paling utama Presiden harus memiliki mata yang banyak dan jeli agar dia mengetahui tingkah polah para menterinya serta berani memberikan tindakan tegas apabila ada pelanggaran yang terjadi.
Harapan Ke Depan
Sepuluh tahun lebih sejak seruan reformasi dikumandangkan ke seluruh pelosok negeri seharusnya negara ini menjadi negara yang lebih baik. Sistem negara di bawah rezim orde baru telah dikoreksi dengan sedemikian rupa hingga menghasilkan reformasi. Dan reformasi tersebut pada hakikatnya tidak hanya menyentuh sistem saja tetapi juga para pelaku di dalam sistem tersebut. Tidak akan ada artinya ketika demokrasi Pancasila yang menjadi pilihan sistem politik di negara ini tidak didukung oleh para pelaku yang memiliki moral dan mental Pancasilais.
Ketika negara ini bersepakat dalam menjalankan desentralisasi urusan kepemerintahan rakyat dihadapkan kepada lahirnya permasalahan pelik di daerah. Korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah menjadi begitu populer dan sporadis. Pemisahan suatu wilayah daerah menjadi daerah baru dengan argumentasi peningkatan efektifitas dan efisiensi penyelengggaraan pemerintahan ternyata hanya menjadi kedok bagi beberapa elite yang memiliki kepentingan untuk berkuasa dan memperkaya diri. Namun demikian desentralisasi masih merupakan pilihan sistem yang tepat jika dikaitkan dengan pertimbangan geografis dan etnologis bangsa ini. Dengan adanya desentralisasi maka demokratisasi di tingkat lokal akan menjadi lebih efektif sehingga diharapkan masyarakat lokal akan menjadi lebih partisipatif dalam agenda pembangunan. Kepala Daerah haruslah lebih arif dalam membuat kebijakan publik dan satuan kerja yang dibawahinya harus benar-benar bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Sudah banyak wacana-wacana keilmuan yang konstruktif dalam membangun bangsa ini. Setiap hari kita disuguhi pemikiran-pemikiran kritis dari para pakar keilmuan bangsa ini. Sehingga perubahan menuju ke arah yang lebih baik adalah sesuatu yang harusnya segera terjadi. Bangsa kita bangsa yang besar. Sumberdaya alam kita sangat melimpah dan itu bukanlah kutukan dari Tuhan melainkan berkah yang diberikan kepada Indonesia yang dari itu dapat dikelola untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Jangan ada lagi keberpihakan kepada asing dan korporasi yang hanya mementingkan keuntungannya sendiri. Jika SBY dalam slogan politiknya menyerukan "bersama kita bisa" maka slogan tersebut haruslah benar-benar menjadi sebuah motivasi bahwa berdayagunanya seluruh potensi di negara ini adalah berangkat dari sebuah kebersamaan seluruh bangsa.
Di akhir tulisan ini saya berusaha untuk berkelakuan baik kepada para penguasa. Bagi saya penguasa adalah satu kesatuan bangunan yang berisi eksekutif, legislatif dan yudikatif dan memiliki kemampuan untuk menjadikan bangsa ini lebih berdaulat, bermartabat dan digdaya. Maka saya persembahkan sebait harapan kepada para penguasa:
hai engkau yang sedang berkuasa..
negeri ini sudah banyak kehilangan air mata..
maka..
cukupkanlah bagimu hasrat kejimu..
kenyangkanlah bagimu harta haram..
dudukkanlah dirimu untuk kami rakyatmu..
bahagiakanlah kami dengan perilakumu..
banggakanlah kami dengan prestasimu..
kami sudah terlalu sering berdo'a..
agar Tuhan membuka sanubarimu..
membelalakkan mata batinmu..
menghadirkan hidayah dalam nuranimu..
hai engkau yang sedang berkuasa..
tidakkah ada belas kasihmu..
kasihanilah kami..
sungguh..
kami masih sangat mencintai negeri kami..
Indonesia..
Jombang, 25 Januari 2012
Kebijakan publik memiliki dua aliran dalam perkembangan keilmuannya. Dr. Riant Nugroho, dalam bukunya Public Policy tahun 2008, menjelaskan dua aliran kebijakan publik tersebut. Aliran pertama adalah Kontinentalis. Pemahaman ini melihat bahwa kebijakan publik adalah turunan dari hukum, bahakan kerap mepersamakan antara kebijakan publik dengan hukum, utamanya hukum publik ataupun hukum tata negara, sehingga kita melihatnya sebagai proses interaksi di antara institusi-institusi negara. Dilihat dari sisi prosesnya, hukum merupakan produksi dari negara dan pemerintah, sehingga rakyat (publik) lebih berposisi sebagai konsumen atau dengan kata lain hanya menjadi penerima dari perilaku penguasa negara. Tokoh yang mengawali munculnya aliran kontinentalis ini adalah Napoleon Bonaparte dengan konsep negara hukum yang diterapkannya ketika menjadi kaisar pada tahun 1793. Pemahaman kontinentalis diterapkan oleh sebagaian besar negara-negara di benua Eropa. Hitler adalah tokoh paling ekstrim dalam aliran kontinentalisnya ketika menjadi penguasa di Jerman yang kemudian kita sering mendengarnya sebagai loyalitas beku ala nazi yang serba militer, serba negara dan serba diatur.
Aliran kedua dalam kebijakan publik adalah Anglo-Saxonist. Aliran ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan publik adalah sebuah proses politik yang demokratis. Pemahaman ini diawali dari pemikiran liberal, dengan tokohnya John Stuart Mills (1806-1873), yang memberikan gagasan bahwa semua orang mempunyai hak dan kebebasan yang sama. Prinsip tersebut sebangun dengan egalitarianisme yang dikembangkan dalam revolusi Prancis dan dalam gerakan reformasi Martin Luther. Konsep egalitarianisme sendiri tidak berhenti pada tingkatan antar individu saja, tetapi antar individu dengan negara, yang menempatkan kebijakan publik sebagai sebuah proses yang meletakkan setiap individu masyarakat sebagai bagiannya. Sehingga jika kita kaitkan dengan demokrasi, yang merupakan pilihan bangsa ini dalam menjalankan roda pemerintahannya, pelibatan rakyat dalam setiap proses politiknya adalah sesuatu yang harus ada terutama dalam agenda perumusan kebijakan publik. Dan harus menjadi auto-koreksi bahwa pelibatan tersebut tidak hanya sebatas pada pemilihan umum (pemilu) saja dan berhenti setelah pemilu usai.
Kita memang harus menerima kenyataan bahwa negeri kita ini memiliki bentangan yang sangat luas dan dipenuhi dengan etnis suku bangsa yang berbeda-beda. Tidak ada negara lain di dunia yang sehebat Indonesia. Negara dengan sekian banyak keanekaragaman suku-budaya masih bisa bertahan selama lebih dari setengah abad. Kekayaan budaya tersebut harus bisa diakomodasi oleh sistem politik di negeri ini dan sistem keterwakilan adalah jawaban dari hal tersebut. Namun sayangnya keterwakilan tersebut hanya dijadikan sebagai kedok oleh beberapa elite politik. Sebelum pemilu digelar kita disuguhi dengan koar-koar janji para caleg, impian setinggi langit mengenai penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kerap kita jumpai juga upaya-upaya dari para caleg tersebut melakukan aksi bagi-bagi uang sebagai legitimasi atas dirinya dan janji-janjinya. Bahkan, dalam pandangan saya pribadi, para caleg tersebut secara tidak langsung merendahkan derajat cqlon pemilihnya dengan memberikan suguhan kampanye yang bernuansa hedonistik. Rakyat dibuai dengan kesenangan-kesenangan panggung yang sarat dengan erotisme penyanyi dangdut. Sangat sedikit kampanye yang edukatif dan seringkali memberikan judgement negatif terhadap kompetitornya. Beberapa hal tersebut jika tidak dibendung oleh kebijakan yang pro terhadap kemajuan bangsa maka ketika pemilu dimulai di saat itulah sebenarnya agenda pembodohan dan perendahan derajat bangsa ini dimulai. Perbaikan terhadap mekanisme pemilu mutlak diperlukan agar para legislator benar-benar memiliki kredibilitas yang mumpuni serta kapabel dalam mengurusi kepentingan rakyat banyak.
Kebijakan publik yang ada di Indonesia memang masih condong ke arah kontinentalis. Hal ini bisa kita pahami bahwa 3.5 abad kependudukan Belanda di Indonesia telah mewariskan corak yang begitu kental dalam agenda politiknya dimana kebijakan publik di Indonesia masih identik dengan hukum. Hal ini juga diungkapkan oleh Dr. Riant Nugroho (spesialis kebijakan yang menurut saya sangat inspiratif) di tahun 2008 bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir agenda untuk legal drafting mencapai 80% atau lebih, sementara agenda untuk membangun kapasitas pengembangan kebijakan publik yang bukan dalam makna hukum hanya mencapai 20%. Tidak ada yang salah dengan hal itu karena pada hakikatnya hukum diciptakan untuk memberikan sebuah tatanan yang teratur dan memberikan keadilan yang merata untuk setiap lapisan sosial ekonomi masyarakat bangsa-negara. Permasalahannya adalah ketika hukum tersebut memiliki muka dua. Dia menggunakan wajah yang begitu seram dan menakutkan ketika berhadapan dengan rakyat yang lemah secara ekonomi dan dengan begitu radikal dia merubah wajahnya menjadi begitu lembut dan ramah ketika berhadapan dengan para elite yang memiliki kemampuan ekonomi lebih. Terlebih lagi ketika berhadapan dengan tersangka koruptor dia akan memberikan wajah terlembutnya dan menawarkan dirinya untuk dilahap dengan sekali lahapan yang besar.
Demikian halnya dengan para eksekutif negara ini. Presiden sebagai sosok tertinggi dan bermartabat dalam pemerintahan harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang mensejahterakan. Presiden harus memberikan arahan kebijakannya kepada para menterinya agar benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat yang belum sejahtera. Presiden harus tegas memberikan arahan kepada menterinya agar ikhlas menolak ketika ada korporasi, baik dari dalam dan luar negeri, yang beritikat tidak baik seperti misalnya memberikan uang pelicin dan sebagainya. Dan sekali lagi Presiden harus memberikan arahan kepada para menterinya agar menjalankan proyek-proyek pembangunan, yang harus diprioritaskan ke daerah-daerah tertinggal, dengan sebenar-benarnya tanpa harus mengambil satu rupiahpun dari proyek tersebut. Dan yang paling utama Presiden harus memiliki mata yang banyak dan jeli agar dia mengetahui tingkah polah para menterinya serta berani memberikan tindakan tegas apabila ada pelanggaran yang terjadi.
Harapan Ke Depan
Sepuluh tahun lebih sejak seruan reformasi dikumandangkan ke seluruh pelosok negeri seharusnya negara ini menjadi negara yang lebih baik. Sistem negara di bawah rezim orde baru telah dikoreksi dengan sedemikian rupa hingga menghasilkan reformasi. Dan reformasi tersebut pada hakikatnya tidak hanya menyentuh sistem saja tetapi juga para pelaku di dalam sistem tersebut. Tidak akan ada artinya ketika demokrasi Pancasila yang menjadi pilihan sistem politik di negara ini tidak didukung oleh para pelaku yang memiliki moral dan mental Pancasilais.
Ketika negara ini bersepakat dalam menjalankan desentralisasi urusan kepemerintahan rakyat dihadapkan kepada lahirnya permasalahan pelik di daerah. Korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah menjadi begitu populer dan sporadis. Pemisahan suatu wilayah daerah menjadi daerah baru dengan argumentasi peningkatan efektifitas dan efisiensi penyelengggaraan pemerintahan ternyata hanya menjadi kedok bagi beberapa elite yang memiliki kepentingan untuk berkuasa dan memperkaya diri. Namun demikian desentralisasi masih merupakan pilihan sistem yang tepat jika dikaitkan dengan pertimbangan geografis dan etnologis bangsa ini. Dengan adanya desentralisasi maka demokratisasi di tingkat lokal akan menjadi lebih efektif sehingga diharapkan masyarakat lokal akan menjadi lebih partisipatif dalam agenda pembangunan. Kepala Daerah haruslah lebih arif dalam membuat kebijakan publik dan satuan kerja yang dibawahinya harus benar-benar bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Sudah banyak wacana-wacana keilmuan yang konstruktif dalam membangun bangsa ini. Setiap hari kita disuguhi pemikiran-pemikiran kritis dari para pakar keilmuan bangsa ini. Sehingga perubahan menuju ke arah yang lebih baik adalah sesuatu yang harusnya segera terjadi. Bangsa kita bangsa yang besar. Sumberdaya alam kita sangat melimpah dan itu bukanlah kutukan dari Tuhan melainkan berkah yang diberikan kepada Indonesia yang dari itu dapat dikelola untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Jangan ada lagi keberpihakan kepada asing dan korporasi yang hanya mementingkan keuntungannya sendiri. Jika SBY dalam slogan politiknya menyerukan "bersama kita bisa" maka slogan tersebut haruslah benar-benar menjadi sebuah motivasi bahwa berdayagunanya seluruh potensi di negara ini adalah berangkat dari sebuah kebersamaan seluruh bangsa.
Di akhir tulisan ini saya berusaha untuk berkelakuan baik kepada para penguasa. Bagi saya penguasa adalah satu kesatuan bangunan yang berisi eksekutif, legislatif dan yudikatif dan memiliki kemampuan untuk menjadikan bangsa ini lebih berdaulat, bermartabat dan digdaya. Maka saya persembahkan sebait harapan kepada para penguasa:
hai engkau yang sedang berkuasa..
negeri ini sudah banyak kehilangan air mata..
maka..
cukupkanlah bagimu hasrat kejimu..
kenyangkanlah bagimu harta haram..
dudukkanlah dirimu untuk kami rakyatmu..
bahagiakanlah kami dengan perilakumu..
banggakanlah kami dengan prestasimu..
kami sudah terlalu sering berdo'a..
agar Tuhan membuka sanubarimu..
membelalakkan mata batinmu..
menghadirkan hidayah dalam nuranimu..
hai engkau yang sedang berkuasa..
tidakkah ada belas kasihmu..
kasihanilah kami..
sungguh..
kami masih sangat mencintai negeri kami..
Indonesia..
Jombang, 25 Januari 2012
No comments:
Post a Comment