GAMBARAN KONSEPTUAL
Paul J. Di Maggio dan Walter W. Powell (1983) berargumen bahwa teori
institusional mengkritik teori ekonomi dan kontingensi yang sangat rasional,
yaitu menjelaskan struktur dan fungsi organisasi dengan ukuran efisiensi. Teori
itu mengabaikan kekuatan di luar organisasi yang non-rasional seperti negara,
norma-norma sosial, tradisi, konvensi, yang membentuk organisasi itu. Pemikir
lainnya, John W. Meyer dan Brian Rowan (1977) menulis “banyak posisi,
kebijakan, program dan prosedur organisasi modern dipengaruhi oleh opini
publik, pandangan konstituen, pengetahuan sah melalui sistem pendidikan,
prestise sosial, hukum, dan pengadilan. Jadi menurut pandangan tersebut pada
intinya menjelaskan bahwa perilaku organisasi atau keputusan yang diambil oleh
organisasi akan dipengaruhi oleh institusi yang ada di luar organisasi.
Organisasi akan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan tekanan dari luar untuk
mempertahakankan eksistensinya.
Scott (2001) mengatakan bahwa Institusi berada pada lingkup struktur
sosial, memiliki elemen-elemen simbolis, aktifitas-aktifitas sosial, dan
sumberdaya material. Keberadaan institusi diperlukan sebagai seperangkat proses
yang dicirikan dengan elemen-elemen regulatif, normatif, dan kultural-kognitif
yang sarat dengan perubahan. Meskipun unsur-unsur utama dari institusi adalah rules, norms, and cultural benefit,
konsep institusi juga menyagkut asosiasi perilaku dan sumberdaya material.
Dengan demikian pengertian institusi ditentukan oleh batasan legal, prosedural,
moral dan kultural yang memiliki legitimasi. Tidak hanya menyangkut property or social order, tetapi juga
sebagai proses institusionalisasi maupun deinstitusionalisasi.
Adanya faktor tekanan dari luar tersebut akan menjadi sebuah kontrol
terhadap akses para aktor ke berbagai sumberdaya, institusi atau pranata, yang
mempengaruhi kierja dengan berbagai cara. Sehingga bisa disimpulkan di awal
bahwa institusi adalah batasan yang diciptakan oleh sebuah sistem sosial yang
memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengarahkan interaksi antar manusia
melalui aturan formal (Hukum, Undang-undang) maupun informal (Budaya, Tradisi,
Norma) dimana berlakunya akan bergantung pada kondisi sosial yang ada.
PERKEMBANGAN TEORI INSTITUSIONAL
Teori institusional telah berkembang dalam berbagai disiplin ilmu, bahkan
bersifat multi dan interdisipliner. Diantara kelompok disiplin ilmu yang
memberikan sumbangan utama terhadap perkembangan teori institusional adalah
ilmu ekonomi, ilmu politik dan sosiologi (Scott, 2001).
Pendekatan ekonomi kelembagaan pada awalnya menggunakan asumsi-asumsi
rasionalitas klasik dengan asumsi-asumsi ekonomi untuk mewujudkan eksistensi
organisasi dan institusi. Williamson (1989) telah mengembangkan pendekatan transaction-cost analysis dalam
organisasi. Dan selanjutnya dalam teori neo-institusional menekankan pada
pentignya peranan agen dalam sistem ekonkmi, koordinasi dalam aktivitas ekonomi
menyangkut transaksi pasar dan struktur institusi. Dalam hal ini peran sistem
pemerintah dalam ekonomi kelembagaan menjadi penting dalam struktur institusi
dan organisasi.
Pengaruh ilmu politik dalam perkembangan teori insitusi awalnya dapat
dilihat dari dua hal; pertama,
menerapkan rational choice economic
models pada sistem politik; kedua,
pandangan historis tentang sifat institusi yang berpengaruh besar terhadap
konstruksi aktor dan kepentingannya. Dari dua hal tersebut berkembang pandangan
institusi sebagai organisasi yang memiliki tiga pendekatan analisis, yaitu
menyangkut: suatu proses politik, kesadaran dan artikulasi dalam suatu struktur
pekerjaan, dan aktivitas organisasi yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan.
Dalam kajian sosiologis, pengertian institusi mencakup aspek yang luas.
Luasnya cakupan tersebut dapat dilihat dari definisi sebagaimana yang
dikemukakan Scott (2001) :
- Institusi adalah struktur sosial yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi
- Institusi terdiri dari kultur-kognitif, normatif, dan elemen regulatif yang berhubungan dengan sumberdaya, memberikan stabilitas dan makna kehidupan sosial
- Institusi ditransmisikan oleh berbagai jenis operator, termasuk sistem simbol, sistem relasional, rutinitas, dan artifak
- Institusi beroperasi pada berbagai tingkat yurisdiksi, dari sistem dunia ke hubungan interpersonal lokal
- Institusi menurut definisinya berarti kestabilan tetapi dapat berubah proses, baik yang selalu bertambah maupun yang tersendat.
Scott (2001) mengembangkan tiga pilar dalam tatanan sebuah kelembagaan,
yaitu regulatif, normatif, dan kognitif. Pilar regulatif menekankan aturan dan
pengaturan sanksi, pilar normatif mengandung dimensi evaluatif dan kewajiban,
sedangkan pilar kognitif melibatkan konsepsi bersama dan frame yang menempatkan
pada pmahaman makna. Setiap pilar tersebut memberikan alasan yang berbeda dalam
hal legitimasi, baik yang berdasakan sanksi hukuman, secara kewenangan moral
dan dukungan budaya.
Sebuah organisasi, dalam teori institusional, akan mempertahankan
eksistensinya terhadap tekanan-tekanan dari luar dimana bentuk pertahanan yang
dilakukan adalah adanya penyesuaian diri. Ada tiga proses bagaimana sebuah
organisasi menyesuaikan diri. Pertama, coercive
isomorphism yaitu proses penyesuaian menuju kesamaan dengan cara
“pemaksaan”. Tekanan datang dari pengaruh politik dan masalah legitimasi.
Misalnya, tekanan resmi datang dari peraturan pemerintah agar bisa diakui.
Dalam hal ini, DiMaggio dan Powel (1983) memberikan contoh organisasi
pengembangan masyarakat, ketika berhadapan dengan lembaga donor yang lebih
berkuasa, merasa berada dalam tekanan harus menjadi lebih birokratis karena
harus memenuhi tuntutan donor agar lebih tertib dalam mengelola uang.
Kedua, mimetic isomorphism yaitu
proses dimana organisasi meniru organisasi lain yang berhasil dalam satu
bidang, meskipun orgaisasi peniru tidak tahu persis mengapa mereka meniru,
bukan karena dorongan supaya lebih efisien. Meskipun proses peniruan bagi
organisasi pemasaran atau bisnis lebih banyak didorong keinginan menjadi
efisien dibandingkan dengan organisasi nir-laba, seperti sekolah, rumah sakit,
dan lembaga pemerintahan lainnya. Biasanya proses peniruan ini muncul di
lingkungan yang tidak pasti. Contohnya adalah manajemen perusahaan Jepang yang
banyak ditiru oleh perusahaan dari negara lain karena dianggap berhasil (Di
Maggio dan Powel, 1983).
Ketiga, normative isomorphism
sering diasosiasikan dengan profesionalisasi dan menangkap tekanan normatif
yang muncul di bidang tertentu. Norma atau sesuatu yang tepat bagi organiasi
berasal dari pendidikan formal dan sosialisasi pengetahuan formal itu di bidang
tertentu yang menyokong dan menyebarkan kepercayaan normatif itu. Ketika
profesionalisme meningkat maka tekanan normatif juga akan meningkat.
TEORI INSTITUSIONAL DALAM KEBIJAKAN
PUBLIK
Dalam sebuah kajian kebijakan publik, haruslah diperlukan sebuah teori
yang dapat menjelaskan serta membatasi bagaimana seharusnya organisasi publik
berperilaku dalam hubungannya dengan pembuatan kebijakan publik yang dapat
mencapai tujuan akhir. Ide pokok dari teori institusional (Skelley, 2000)
adalah bahwa organisasi dibentuk oleh lingkungan institusional yang
mengitarinya. Pengamatan terhadap organisasi harus dilihat sebagai totalitas
simbol, bahasa, ataupun ritual-ritual yang melingkupinya. Sehingga dalam
memahami sebuah perilaku organisasi tidak dapat dilakukan hanya dengan
melakukan agregasi atas pengamatan terhadap perilaku individu. Justru
sebaliknya, banyak penelitian tentang institusionalisme yang mengkaji seberapa
besar pengaruh institusi terhadap perilaku manusia melalui aturan dan norma
yang dibangun oleh institusi. Jadi, bukan manusianya yang menentukan bagaimana
corak institusi (lembaga) nya, melainkan sebuah institusi yang berdasarkan pada
aturan dan norma itulah yang seharusnya mempengaruhi perilaku individu.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa institusi merupakan batasan
sistem soasial yang dilingkupi oleh aturan formal dan non formal sebagai
pengontrol dan pengarah interaksi antar manusia dalam aksesnya kepada
sumberdaya. Demikian halnya dengan organisasi publik yang berurusan dengan
permasalahan publik harus mendasarkan setiap perilakunya pada batasan-batasan
sistem sosial tersebut. Seperti halnya ketika negara ini sedang diligkupi
permasalahan kenaikan BBM. Mungkin bagi sebagian orang kenaikan harga tersebut
tidak menjadi masalah yang genting, tapi bagi sebagian orang, yang memiliki
tingkat kesejahteraan yang lebih rendah, akan merasakan hadangan tembok yang
sangat kuat dalam aktifitasnya untuk mengakses sumberdaya. Sehingga pemerintah,
sebagai organisasi publik, sesuai dengan kultur kebangsaan Indonesia, wajib
untuk membuat kebijakan yang lebih memperhatikan masyarakat termarginalkan
tersebut.
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM per April 2012 nanti telah
memantik sejumlah polemik di berbagai daerah. Aksi penolakan yang cenderung
anarkis sering terlihat di tajuk berita media massa. Tidak hanya itu kenaikan
harga BBM yang baru sebatas pemberitahuan tersebut telah membuat porak poranda
bangunan ekonomi mikro yang selama ini menjadi lahan rizki masyarakat kelas
menengah ke bawah. Organisasi publik, dalam hal ini, telah gagal menerapkan
konsep-konsep teori institusional denga tiga pilarnya.
Pemerintah, sebagai orgaisasi publik, seharusnya tidak membuat kebijakan
yang memberatkan rakyat. Namun, seringnya, yang terjadi adalah
kepentingan-kepentingan politik tertentu yang menjadi nahkoda dalam menentukan arah
kebijakan publiknya. Jika pemerintah, sebagai organisasi publik, menerapkan
dengan sebenar-benarnya kaidah institusional maka setiap kebijakan yang diambil
haruslah terikat secara regulatif, normatif, dan kultural-kognitif. Sebagai
contoh, untuk menyikapi naiknya harga minyak dunia pemerintah dapat membuat
kebijakan yang lebih memihak rakyat, yaitu dengan menjaga kestabilan harga
minyak domestik. Kestabilan harga tersebut sudah sewajarnya menyebabkan asumsi
APBN berubah, dimana subsidi untuk BBM harus ditambah untuk membantu rakyat
menghadapi naiknya harga BBM dunia. Konkritnya adalah re-alokasi anngaran yang
sifatnya fixed-variable (variabel
tetap) seperti misalnya belanja pegawai (gaji pegawai). Jika memang rakyat yang
dibela, maka pemerintah harus legowo apabila
remunerasi dihilangkan, penguasa harus ikhlas apabila tunjangan-tunjangan
jabatan mereka dipotong untuk meringankan beban rakyat. Di sinilah posisi yang
benar bagi sebuah institusi publik yang mendasarkan setiap geraknya pada tiga
pilar utama, regulatif, normatif, dan kultural – kognitif.
PENUTUP
Teori institusionalisme telah memposisikan dirinya untuk membantu kita
mengahdapi sebuah pertanyaan penting mengenai dasar-dasar kesamaan organisasi
dan turunannya, hubungan antara struktur dan perilaku, peran simbol dalam
kehidupan sosial, hubungan antara gagasan dan kepentingan, serta ketegangan
antara kebebasan dengan ketetiban.
Sebuah lembaga sudah seharusnya memiliki kepribadiannya sendiri dan bukan
merupakan hasil dari agregasi perilaku orang-perorangnya. Sehingga dalam
mempelajari sebuah proses kelembagaan (institusionalisasi) kita harus memiliki
frame yang jelas untuk hal tersebut.
Scott (2001) telah memberikan kerangka pikir untuk mempelajari institusi
dengan adanya tiga pilar, yaitu (1) Regulatif, (2) Normatif, dan (3) Kognitif. Perbedaan
antara ketiga pilar tersebut dilihat dari sisi dasar ketaatan, mekanisme
pengelolaan, logika mengenai perilaku manusia, dan indikator mengenai pilar
institusi tersebut. Terdapat satu konsep untuk menjelaskan mekanisme yang
terdapat dalam tiga pilar terebut, yaitu isomorpisme atau sebuah proses untuk
menjadi bentuk yang sama. Isomorpisme tersebutterbagai menjadi tiga, yaitu
isomorpis koersif, normatif, dan mimetis.
Sudah saatnya pemerintah, sebagai sebuah organisasi publik, menjalankan
struktur dan kelembagaannya berdasarkan falsafah berkehidupan bangsa ini. Sudah
saatnya pemerintah tidak lagi menjadi agen bagi kepentingan incividu terhadap
aksesibilitas sumberdaya. Dan sudah saatnya pemerintah Indonesia mengembalikan
identitas birokratisnya ke dalam hakikat awal dibentukknya organisasi publik
tersebut yaitu untuk mensejahterakan rakyat. []
DAFTAR
BACAAN
DiMaggio,
Paul J., Walter W. Powell, 1983. The Iron
Cage Revisited: Institutional isomorphism and collective rationality in
organizational field. American Sociological Review.
Meyer,
John W. Brian Rowan. 1977. Institutionalized
organizations: Formal Structure as Myth and Ceremony. American Journal
Sociology.
Scott,
W. Richard. 2001. Institutions and
Organizations. Thousand Oaks, CA: Sage
Williamson, Oliver E. 1989. ‘Transaction
Cost Economics,’ in Richard Schmalensee and Robert Willig, eds., Handbook of
Industrial Organization. Amsterdam: North Holland.
cacatan yg sangat bagus..
ReplyDeleteSy mohon bertanya,,jika membaca tulisan bapak.
artinya ketika sebuah kebijakan yang di keluarkan oleh pemda atau pemerintah yang harus di efaluasi adalah pemda atau pemerintah selaku pemberi kebijakan.
mohon sarannya pak
evaluasi kebijakan bisa dilakukan pada tataran pembuat kebijakan, implementor kebijakan dan implementasi di lapangan.
Deletekalo referensi buku berbahasa Indonesia, karangan siapa yang bisa jadi rujukan ya pak mengenai topik bahasan ini?
ReplyDeleteSilakan membaca buku karangan DR. Riant Nugroho, atau buku karangan William N. Dunn yg sudah diaadur kw dalam bahasa Indonesia.
Deletemasih bingung menghubungkan teori institusi dengan cara pemerintah membuat kebijakan.ada analogi yang lebih simpel gak pak...?
ReplyDeletepembuatan kebijakan organisasi tidak bisa hanya dengan menggunakan pendekatan satu teori saja karena cakupan dari kebijakan tersebut sangat luas apalagi untuk pemerintah. disebutkan di atas bahwa teori institusional mengalami perkembangan dimana sebuah institusi harus memperhatikan 3 aspek (regulatif, normatif, kognitif).
Deleteibarat sebuah restoran, mungkin dia memiliki menu yg jadi unggulan, tapi dia juga tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan pasar yg notabenenya sangat dinamis. karena jika demikian maka perlahan restoran tersebut akan bangkrut ditinggal pelanggan yg bosan dgn menu tersaji.
Deletedi masa kini, dimana masyarakat mengalami perkembangan yg sangat cepat, teori institusional mencoba membantu organisasi dalam melakukan respon terhadap dinamika eksternal
untuk artikel atau referansi induk dari teori institusi apakah bapak ada informasi?
ReplyDeleteberbagi sedikit proses isomorfisma mimetik juga dikarenakan teknologi dan pengetahuan yg dimiliki organisasi tidak mampu digunakan untuk menyelesaikan masalah (March dan Olsen, 1976) atau karena ingin mencaripenyelesaian yg murah dan gampang atas suatu masalah (Cyert dan March, 1963; Galaskiewicz dan Wasserman, 1989)
pak kalau analisis tentng implementasi menggunakan pndangan teori institusional apakah bisa pak
ReplyDeleteTerimakasih... Ulasan yg sangat menarik,kebetulan grand theory akan sy gunakan dlm penelitian isomorpism intitutional, mohon petunjuk untuk memesan bukunya terjemahan bhs indonesia
ReplyDeleteMohon maaf izin memakai referensi sebagai ilmu untuk dipakai dang disharing
ReplyDeleteSALAM BAPAK..adakah teori ini bisa dikendalikan atau diaplikasikan untuk menilai kecekapan atau efisiensi lembaga keuangan mikro LKM indonesia?
ReplyDeleteTeori institusionalisme merupakan sebuah teori yang berangkat dari konsep-konsep dalam Sosiologi yang menjelaskan bagaimana dinamika yang terjadi di dalam sebuah organisasi yang terdiri dari sekumpulan manusia. Sebuah studi tentang sistem sosial yang membatasi penggunaan dan pertukaran sumberdaya langka, serta upaya untuk menjelaskan munculnya berbagai bentuk peraturan institusional yang masing-masing mengandung konsekuensi Pembentukan dan Perubahan Institusional Dominoqq
ReplyDeleteRespect and that i have a nifty present: How To Plan House Renovation general contractor for home renovation
ReplyDelete