Tuesday, March 27, 2012

PENDEKATAN INSTITUSIONAL DALAM MERUMUSKAN KEBIJAKAN PUBLIK (SEBUAH KAJIAN TEORITIS)

GAMBARAN KONSEPTUAL

Teori institusionalisme merupakan sebuah teori yang berangkat dari konsep-konsep dalam Sosiologi yang menjelaskan bagaimana dinamika yang terjadi di dalam sebuah organisasi yang terdiri dari sekumpulan manusia. Sebuah studi tentang sistem sosial yang membatasi penggunaan dan pertukaran sumberdaya langka, serta upaya untuk menjelaskan munculnya berbagai bentuk peraturan institusional yang masing-masing mengandung konsekuensi.


Paul J. Di Maggio dan Walter W. Powell (1983) berargumen bahwa teori institusional mengkritik teori ekonomi dan kontingensi yang sangat rasional, yaitu menjelaskan struktur dan fungsi organisasi dengan ukuran efisiensi. Teori itu mengabaikan kekuatan di luar organisasi yang non-rasional seperti negara, norma-norma sosial, tradisi, konvensi, yang membentuk organisasi itu. Pemikir lainnya, John W. Meyer dan Brian Rowan (1977) menulis “banyak posisi, kebijakan, program dan prosedur organisasi modern dipengaruhi oleh opini publik, pandangan konstituen, pengetahuan sah melalui sistem pendidikan, prestise sosial, hukum, dan pengadilan. Jadi menurut pandangan tersebut pada intinya menjelaskan bahwa perilaku organisasi atau keputusan yang diambil oleh organisasi akan dipengaruhi oleh institusi yang ada di luar organisasi. Organisasi akan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan tekanan dari luar untuk mempertahakankan eksistensinya.

Scott (2001) mengatakan bahwa Institusi berada pada lingkup struktur sosial, memiliki elemen-elemen simbolis, aktifitas-aktifitas sosial, dan sumberdaya material. Keberadaan institusi diperlukan sebagai seperangkat proses yang dicirikan dengan elemen-elemen regulatif, normatif, dan kultural-kognitif yang sarat dengan perubahan. Meskipun unsur-unsur utama dari institusi adalah rules, norms, and cultural benefit, konsep institusi juga menyagkut asosiasi perilaku dan sumberdaya material. Dengan demikian pengertian institusi ditentukan oleh batasan legal, prosedural, moral dan kultural yang memiliki legitimasi. Tidak hanya menyangkut property or social order, tetapi juga sebagai proses institusionalisasi maupun deinstitusionalisasi.

Adanya faktor tekanan dari luar tersebut akan menjadi sebuah kontrol terhadap akses para aktor ke berbagai sumberdaya, institusi atau pranata, yang mempengaruhi kierja dengan berbagai cara. Sehingga bisa disimpulkan di awal bahwa institusi adalah batasan yang diciptakan oleh sebuah sistem sosial yang memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengarahkan interaksi antar manusia melalui aturan formal (Hukum, Undang-undang) maupun informal (Budaya, Tradisi, Norma) dimana berlakunya akan bergantung pada kondisi sosial yang ada.

PERKEMBANGAN TEORI INSTITUSIONAL

Teori institusional telah berkembang dalam berbagai disiplin ilmu, bahkan bersifat multi dan interdisipliner. Diantara kelompok disiplin ilmu yang memberikan sumbangan utama terhadap perkembangan teori institusional adalah ilmu ekonomi, ilmu politik dan sosiologi (Scott, 2001). 

Pendekatan ekonomi kelembagaan pada awalnya menggunakan asumsi-asumsi rasionalitas klasik dengan asumsi-asumsi ekonomi untuk mewujudkan eksistensi organisasi dan institusi. Williamson (1989) telah mengembangkan pendekatan transaction-cost analysis dalam organisasi. Dan selanjutnya dalam teori neo-institusional menekankan pada pentignya peranan agen dalam sistem ekonkmi, koordinasi dalam aktivitas ekonomi menyangkut transaksi pasar dan struktur institusi. Dalam hal ini peran sistem pemerintah dalam ekonomi kelembagaan menjadi penting dalam struktur institusi dan organisasi.

Pengaruh ilmu politik dalam perkembangan teori insitusi awalnya dapat dilihat dari dua hal; pertama, menerapkan rational choice economic models pada sistem politik; kedua, pandangan historis tentang sifat institusi yang berpengaruh besar terhadap konstruksi aktor dan kepentingannya. Dari dua hal tersebut berkembang pandangan institusi sebagai organisasi yang memiliki tiga pendekatan analisis, yaitu menyangkut: suatu proses politik, kesadaran dan artikulasi dalam suatu struktur pekerjaan, dan aktivitas organisasi yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan.

Dalam kajian sosiologis, pengertian institusi mencakup aspek yang luas. Luasnya cakupan tersebut dapat dilihat dari definisi sebagaimana yang dikemukakan Scott (2001) :



  • Institusi adalah struktur sosial yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi
  • Institusi terdiri dari kultur-kognitif, normatif, dan elemen regulatif yang berhubungan dengan sumberdaya, memberikan stabilitas dan makna kehidupan sosial
  • Institusi ditransmisikan oleh berbagai jenis operator, termasuk sistem simbol, sistem relasional, rutinitas, dan artifak
  • Institusi beroperasi pada berbagai tingkat yurisdiksi, dari sistem dunia ke hubungan interpersonal lokal 
  • Institusi menurut definisinya berarti kestabilan tetapi dapat berubah proses, baik yang selalu bertambah maupun yang tersendat.

Scott (2001) mengembangkan tiga pilar dalam tatanan sebuah kelembagaan, yaitu regulatif, normatif, dan kognitif. Pilar regulatif menekankan aturan dan pengaturan sanksi, pilar normatif mengandung dimensi evaluatif dan kewajiban, sedangkan pilar kognitif melibatkan konsepsi bersama dan frame yang menempatkan pada pmahaman makna. Setiap pilar tersebut memberikan alasan yang berbeda dalam hal legitimasi, baik yang berdasakan sanksi hukuman, secara kewenangan moral dan dukungan budaya. 

Sebuah organisasi, dalam teori institusional, akan mempertahankan eksistensinya terhadap tekanan-tekanan dari luar dimana bentuk pertahanan yang dilakukan adalah adanya penyesuaian diri. Ada tiga proses bagaimana sebuah organisasi menyesuaikan diri. Pertama, coercive isomorphism yaitu proses penyesuaian menuju kesamaan dengan cara “pemaksaan”. Tekanan datang dari pengaruh politik dan masalah legitimasi. Misalnya, tekanan resmi datang dari peraturan pemerintah agar bisa diakui. Dalam hal ini, DiMaggio dan Powel (1983) memberikan contoh organisasi pengembangan masyarakat, ketika berhadapan dengan lembaga donor yang lebih berkuasa, merasa berada dalam tekanan harus menjadi lebih birokratis karena harus memenuhi tuntutan donor agar lebih tertib dalam mengelola uang.

Kedua, mimetic isomorphism yaitu proses dimana organisasi meniru organisasi lain yang berhasil dalam satu bidang, meskipun orgaisasi peniru tidak tahu persis mengapa mereka meniru, bukan karena dorongan supaya lebih efisien. Meskipun proses peniruan bagi organisasi pemasaran atau bisnis lebih banyak didorong keinginan menjadi efisien dibandingkan dengan organisasi nir-laba, seperti sekolah, rumah sakit, dan lembaga pemerintahan lainnya. Biasanya proses peniruan ini muncul di lingkungan yang tidak pasti. Contohnya adalah manajemen perusahaan Jepang yang banyak ditiru oleh perusahaan dari negara lain karena dianggap berhasil (Di Maggio dan Powel, 1983).

Ketiga, normative isomorphism sering diasosiasikan dengan profesionalisasi dan menangkap tekanan normatif yang muncul di bidang tertentu. Norma atau sesuatu yang tepat bagi organiasi berasal dari pendidikan formal dan sosialisasi pengetahuan formal itu di bidang tertentu yang menyokong dan menyebarkan kepercayaan normatif itu. Ketika profesionalisme meningkat maka tekanan normatif juga akan meningkat.

TEORI INSTITUSIONAL DALAM KEBIJAKAN PUBLIK

Dalam sebuah kajian kebijakan publik, haruslah diperlukan sebuah teori yang dapat menjelaskan serta membatasi bagaimana seharusnya organisasi publik berperilaku dalam hubungannya dengan pembuatan kebijakan publik yang dapat mencapai tujuan akhir. Ide pokok dari teori institusional (Skelley, 2000) adalah bahwa organisasi dibentuk oleh lingkungan institusional yang mengitarinya. Pengamatan terhadap organisasi harus dilihat sebagai totalitas simbol, bahasa, ataupun ritual-ritual yang melingkupinya. Sehingga dalam memahami sebuah perilaku organisasi tidak dapat dilakukan hanya dengan melakukan agregasi atas pengamatan terhadap perilaku individu. Justru sebaliknya, banyak penelitian tentang institusionalisme yang mengkaji seberapa besar pengaruh institusi terhadap perilaku manusia melalui aturan dan norma yang dibangun oleh institusi. Jadi, bukan manusianya yang menentukan bagaimana corak institusi (lembaga) nya, melainkan sebuah institusi yang berdasarkan pada aturan dan norma itulah yang seharusnya mempengaruhi perilaku individu.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa institusi merupakan batasan sistem soasial yang dilingkupi oleh aturan formal dan non formal sebagai pengontrol dan pengarah interaksi antar manusia dalam aksesnya kepada sumberdaya. Demikian halnya dengan organisasi publik yang berurusan dengan permasalahan publik harus mendasarkan setiap perilakunya pada batasan-batasan sistem sosial tersebut. Seperti halnya ketika negara ini sedang diligkupi permasalahan kenaikan BBM. Mungkin bagi sebagian orang kenaikan harga tersebut tidak menjadi masalah yang genting, tapi bagi sebagian orang, yang memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah, akan merasakan hadangan tembok yang sangat kuat dalam aktifitasnya untuk mengakses sumberdaya. Sehingga pemerintah, sebagai organisasi publik, sesuai dengan kultur kebangsaan Indonesia, wajib untuk membuat kebijakan yang lebih memperhatikan masyarakat termarginalkan tersebut.

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM per April 2012 nanti telah memantik sejumlah polemik di berbagai daerah. Aksi penolakan yang cenderung anarkis sering terlihat di tajuk berita media massa. Tidak hanya itu kenaikan harga BBM yang baru sebatas pemberitahuan tersebut telah membuat porak poranda bangunan ekonomi mikro yang selama ini menjadi lahan rizki masyarakat kelas menengah ke bawah. Organisasi publik, dalam hal ini, telah gagal menerapkan konsep-konsep teori institusional denga tiga pilarnya.

Pemerintah, sebagai orgaisasi publik, seharusnya tidak membuat kebijakan yang memberatkan rakyat. Namun, seringnya, yang terjadi adalah kepentingan-kepentingan politik tertentu yang menjadi nahkoda dalam menentukan arah kebijakan publiknya. Jika pemerintah, sebagai organisasi publik, menerapkan dengan sebenar-benarnya kaidah institusional maka setiap kebijakan yang diambil haruslah terikat secara regulatif, normatif, dan kultural-kognitif. Sebagai contoh, untuk menyikapi naiknya harga minyak dunia pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih memihak rakyat, yaitu dengan menjaga kestabilan harga minyak domestik. Kestabilan harga tersebut sudah sewajarnya menyebabkan asumsi APBN berubah, dimana subsidi untuk BBM harus ditambah untuk membantu rakyat menghadapi naiknya harga BBM dunia. Konkritnya adalah re-alokasi anngaran yang sifatnya fixed-variable (variabel tetap) seperti misalnya belanja pegawai (gaji pegawai). Jika memang rakyat yang dibela, maka pemerintah harus legowo apabila remunerasi dihilangkan, penguasa harus ikhlas apabila tunjangan-tunjangan jabatan mereka dipotong untuk meringankan beban rakyat. Di sinilah posisi yang benar bagi sebuah institusi publik yang mendasarkan setiap geraknya pada tiga pilar utama, regulatif, normatif, dan kultural – kognitif.


PENUTUP

Teori institusionalisme telah memposisikan dirinya untuk membantu kita mengahdapi sebuah pertanyaan penting mengenai dasar-dasar kesamaan organisasi dan turunannya, hubungan antara struktur dan perilaku, peran simbol dalam kehidupan sosial, hubungan antara gagasan dan kepentingan, serta ketegangan antara kebebasan dengan ketetiban.

Sebuah lembaga sudah seharusnya memiliki kepribadiannya sendiri dan bukan merupakan hasil dari agregasi perilaku orang-perorangnya. Sehingga dalam mempelajari sebuah proses kelembagaan (institusionalisasi) kita harus memiliki frame yang jelas untuk hal tersebut.

Scott (2001) telah memberikan kerangka pikir untuk mempelajari institusi dengan adanya tiga pilar, yaitu (1) Regulatif, (2) Normatif, dan (3) Kognitif. Perbedaan antara ketiga pilar tersebut dilihat dari sisi dasar ketaatan, mekanisme pengelolaan, logika mengenai perilaku manusia, dan indikator mengenai pilar institusi tersebut. Terdapat satu konsep untuk menjelaskan mekanisme yang terdapat dalam tiga pilar terebut, yaitu isomorpisme atau sebuah proses untuk menjadi bentuk yang sama. Isomorpisme tersebutterbagai menjadi tiga, yaitu isomorpis koersif, normatif, dan mimetis.

Sudah saatnya pemerintah, sebagai sebuah organisasi publik, menjalankan struktur dan kelembagaannya berdasarkan falsafah berkehidupan bangsa ini. Sudah saatnya pemerintah tidak lagi menjadi agen bagi kepentingan incividu terhadap aksesibilitas sumberdaya. Dan sudah saatnya pemerintah Indonesia mengembalikan identitas birokratisnya ke dalam hakikat awal dibentukknya organisasi publik tersebut yaitu untuk mensejahterakan rakyat. []



DAFTAR BACAAN
DiMaggio, Paul J., Walter W. Powell, 1983. The Iron Cage Revisited: Institutional isomorphism and collective rationality in organizational field. American Sociological Review.
Meyer, John W. Brian Rowan. 1977. Institutionalized organizations: Formal Structure as Myth and Ceremony. American Journal Sociology.
Scott, W. Richard. 2001. Institutions and Organizations. Thousand Oaks, CA: Sage
Williamson, Oliver E. 1989. ‘Transaction Cost Economics,’ in Richard Schmalensee and Robert Willig, eds., Handbook of Industrial Organization. Amsterdam: North Holland.

13 comments:

  1. cacatan yg sangat bagus..
    Sy mohon bertanya,,jika membaca tulisan bapak.
    artinya ketika sebuah kebijakan yang di keluarkan oleh pemda atau pemerintah yang harus di efaluasi adalah pemda atau pemerintah selaku pemberi kebijakan.
    mohon sarannya pak

    ReplyDelete
    Replies
    1. evaluasi kebijakan bisa dilakukan pada tataran pembuat kebijakan, implementor kebijakan dan implementasi di lapangan.

      Delete
  2. kalo referensi buku berbahasa Indonesia, karangan siapa yang bisa jadi rujukan ya pak mengenai topik bahasan ini?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Silakan membaca buku karangan DR. Riant Nugroho, atau buku karangan William N. Dunn yg sudah diaadur kw dalam bahasa Indonesia.

      Delete
  3. masih bingung menghubungkan teori institusi dengan cara pemerintah membuat kebijakan.ada analogi yang lebih simpel gak pak...?

    ReplyDelete
    Replies
    1. pembuatan kebijakan organisasi tidak bisa hanya dengan menggunakan pendekatan satu teori saja karena cakupan dari kebijakan tersebut sangat luas apalagi untuk pemerintah. disebutkan di atas bahwa teori institusional mengalami perkembangan dimana sebuah institusi harus memperhatikan 3 aspek (regulatif, normatif, kognitif).

      Delete
    2. ibarat sebuah restoran, mungkin dia memiliki menu yg jadi unggulan, tapi dia juga tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan pasar yg notabenenya sangat dinamis. karena jika demikian maka perlahan restoran tersebut akan bangkrut ditinggal pelanggan yg bosan dgn menu tersaji.
      di masa kini, dimana masyarakat mengalami perkembangan yg sangat cepat, teori institusional mencoba membantu organisasi dalam melakukan respon terhadap dinamika eksternal

      Delete
  4. untuk artikel atau referansi induk dari teori institusi apakah bapak ada informasi?
    berbagi sedikit proses isomorfisma mimetik juga dikarenakan teknologi dan pengetahuan yg dimiliki organisasi tidak mampu digunakan untuk menyelesaikan masalah (March dan Olsen, 1976) atau karena ingin mencaripenyelesaian yg murah dan gampang atas suatu masalah (Cyert dan March, 1963; Galaskiewicz dan Wasserman, 1989)

    ReplyDelete
  5. pak kalau analisis tentng implementasi menggunakan pndangan teori institusional apakah bisa pak

    ReplyDelete
  6. Terimakasih... Ulasan yg sangat menarik,kebetulan grand theory akan sy gunakan dlm penelitian isomorpism intitutional, mohon petunjuk untuk memesan bukunya terjemahan bhs indonesia

    ReplyDelete
  7. Mohon maaf izin memakai referensi sebagai ilmu untuk dipakai dang disharing

    ReplyDelete
  8. SALAM BAPAK..adakah teori ini bisa dikendalikan atau diaplikasikan untuk menilai kecekapan atau efisiensi lembaga keuangan mikro LKM indonesia?

    ReplyDelete
  9. Teori institusionalisme merupakan sebuah teori yang berangkat dari konsep-konsep dalam Sosiologi yang menjelaskan bagaimana dinamika yang terjadi di dalam sebuah organisasi yang terdiri dari sekumpulan manusia. Sebuah studi tentang sistem sosial yang membatasi penggunaan dan pertukaran sumberdaya langka, serta upaya untuk menjelaskan munculnya berbagai bentuk peraturan institusional yang masing-masing mengandung konsekuensi Pembentukan dan Perubahan Institusional Dominoqq

    ReplyDelete