Beberapa hari yang lalu bangsa ini telah disibukkan oleh
berbagai macam aksi penolakan kenaikan harga BBM. Dalam aksi tersebut kerap
dipekikkan bahwa kenaikan BBM adalah kebijakan negara yang telah disusupi paham
neo-liberalisme, sebuah paham yang menurut mereka lebih menitik-beratkan segala
macam kebijakan negara pada tuntutan pasar ekonomi global. Tidak hanya itu
neo-liberal juga dituding sebagai biang dari ketidakmerataan kesejahteraan yang
dinikmati oleh warga negara. Ada yang meyebut bahwa bangunan kesejahteraan
negara ini seperti piramida. Di bagian paling atas, yaitu 10% orang Indonesia
adalah mereka yang disebut sebagai konglomerat, menikmati kesejahteraan bangsa
sebesar 60%. Di bagian tengah, yaitu 30% orang dengan kategori kelas menengah
menikmati kesejahteraan negara hanya sampai 30%. Dan sisanya, yaitu bagian
terbawah, yaitu sebanyak 60% dari total manusia negara ini hanya menikmati 10%
saja kesejahteraan negara.
Untuk memahami lebih jauh mengenai hal tersebut,
paha neo-liberalisme, maka perlu untuk diketahui lebih jauh mengenai sejarah
konseptual dari paham neo-liberalisme tersebut dan bagaimana para ahli
mendefinisikan neo-liberalisme itu dan apakah memang kebijakan publik di Indonesia
dapat menggunakan neo-liberalisme sebagai sebuah paradigma kenegaraan.
A.
Sejarah
Konseptual Neo-Liberalisme
Istilah “neo-liberalisme” yang sekarang
ini pada mulanya adalah istilah yang dipakai para
pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi
antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrim.
Namun jika dilihat coraknya, pelawanan terhadap rezim tersebut dapat dipelajari
di awal dasawarsa 1930an ketika Jerman dilingkupi oleh Fascisme yang merupakan
gabungan antara totalitarianisme dengan kolektivisme. Gagasan “melawan”
tersebut dihimpun oleh beberapa ahli ekonomi dan hukum yang terkait dengan
Universitas Freiburg yang kemudian menamakan gagasan ekonomi-politik tersebut
sebagai “Mahzab Freiburg” dimana dasar pemikirannya berkumpul di sekitar
pemikir Walter Eucken (1891-1950) dan Franz Bohm (1895-1977). Dari hasil
berkumpul tersebut terbitlah jurnal ordo
(yang berarti kurang lebih adalah tatanan)
yang sering disebut sebagai neo-liberal, dimana kata “neo” adalah untuk
membedakan diri dengan paham liberal di abad 18 dan 19 dimana isi dari pembeda
tersebut adalah dengan kritik terhadap sosialisme di dalamnya. (Treanor, 2005)
Pemikiran mahzab ordo-liberal tersebut menjadi cikal-bakal
desain “ekonomi pasar-sosial” yang kemudian menjadi landasan pembangunan
ekonomi Jerman Barat setelah Perang Dunia II. Keadaan tata-negara di Jerman
pada waktu itu menyebabkan kegelisahan dari para pemikir tersebut yang kemudian
menuangkan sebuah inti dari gagasan tersebut kedalam sebuah pertanyaan: apabila
persoalan kaum liberal di abad ke-18 dan ke-19 adalah bagaimana menciptakan
kebebasan ekonomi dalam tatanan negara yang tidak bebas, masalah kaum liberal
di paruh pertama abad ke-20 adalah bagaimana mendirika tata-negara dalam
suasana kebebasan ekonomi yang sudah ada (Streit,1994).
Pusat pemikiran filsafat ordo-liberal tersebut adalah gagasan
anti-naturalistik tentang ekonomi pasar. Artinya, pasar adalah satu dari
beragam relasi yang diciptakan manusia sehingga dapat dibentuk, dihancurkan dan
diubah menurut desain yang diinginkan. Intinya adalah bawha kinerja pasar
selalu membutuhkan tindakan politik yang membentuk nilai moral dan kultural
bagi pengadaan barang dan jasa ekonomi, sekaligus untuk mencegah kolonisasi
prinsip ekonomi pasar atas bidang-bidang moral dan kultural (Lemke, 2001).
Karena pasar merupakan salah satu relasi yang diciptakan
untuk membantu pengadaan kebutuhan barang dan jasa, dinamika perubahan sosial
tidak dapat diserahkan kepada kinerja-pasar tanpa kerangka tata-sosial. Sehingga
fokus perdebatan ordo-liberal berada pada sejauh mana kinerja pasar dapat
membantu terjadinya “kontrak sosial” (Grossekettler, 1994).
Berdasarkan premis tersebut, agenda transformasi ekonomi
terletak dalam upaya mengubah kapitalisme secara terus-menerus menurut visi
“kontrak sosial”. Gagasan ordo-liberal tersebut berada dalam tegangan antara
individualitas kebebasan dan sosialitas tatanan. Tugas tata-pemerintahan
melalui berbagai kebijakan adalah menjaga tegangan itu, dan bukan menghapus
salah satu kutub dengan menerapkan komando sentral maupun menyerahkan
pembentukan tatanan sosial kepada kenrja pasar. (Friedrich , 1955).
Mahzab ordo-liberal tersebut ternyata dihuni oleh beberapa
gagasan yang tidak seragam. Jaringan ordo-liberal dihuni oleh banyak pemikir
yang terutama terkait dengan Mahzab Freiburg (Jerman) dan Universitas Chicago
(Amerika Serikat). Dalam perkembangannya, keragaman pemikiran mereka terbelah
menjadi tiga aliran (Grossekettler, 1994).
Kelompok pertama, yang biasa disebut sebagi “sosial
liberalis” berkupul di sekitar pemikir Karl Schiller. Mereka percaya bahwa
ekonomi pasar harus dijalankan untuk pengadaan berbagai barang dan jasa,
meskipun tidak semua. Tetapi mereka juga punya kecurigaan mendalam terhadap
kecenderungan perluasan prinsip pasar ke bidang lain. Maka mereka menggagas,
kompetisi ekonomi harus dijalankan sejauh mungkin, tetapi bila kompetisi
membawa konsentrasi kekuasaan dan marginalisasi, intervensi harus dilakukan
melalui regulasi. Sehingga dikatakan bahwa sistem ekonomi yang baik adalah
ekonomi pasar yang dikawal oleh regulasi (Grossekettler, 1994).
Kelompok kedua terdiri dari pemikir inti ordo-liberal seperti
Eucken dan Bohm. Mereka menaruh kecurigaan ganda baik terhadap intervensi lewat
regulasi, maupun pada ciri alami kompetisi pasar. Antara pendulum
intervensi-regulasi dan kompetisi-alami, mahzab ini menggagas ekonomi pasar
bukan sebagai relasi yang terpisah dari semesta relasi politik, kultural dan
sosial melainkan “tertanam” dalam semesta relasi tersebut. Kunci pendekatan
ekonomi bukan terletak dalm regulasi, dan juga bukan pada “tangan tak
terlihat”, tetapi dala kerangka institusional yang membuat relasi-relasi
ekonomi, kultural, politik, hukum serta moral yang terjalin erat satu sama lain
sebagai sebuah tatanan sosial. Ekonomi yang baik adalah ekonomi pasar sosial
(Eucken, 1952).
Kelompok ketiga terdiri dari para pemikir ekonomi mahzab
Austria (seperti Friedrich von Hayek) dan mahzab Chicago (seperti Milton
Friedman) yang berjaring denga mahzab Freiburg. Inilah mahzab yang kemudian
disebut sebagai kaum “libertarian”. Mereka melai dari premis bahwa semua bentuk
tatanan yang baik terbentuk secara spontan dari prinsip kebebasan, dan
kebebasan itu hanya terlaksana dalam tatanan yang terbentuk dari relasi-relasi
spontan. Ekonomi pasar bebas adalah lokus dan model spontanitas serta kebebasan
itu, dan semua bentuk perencanaan ekonomi adalah jalan menuju perbudakan. Oleh
karena itu, segala batasan politik, kultural, sosial dan hukum serta regulasi
pemerintah harus se-minimal mungkin. Sistem ekonomi yang baik adalah “ekonomi
pasar bebas” (Hayek, 1944).
Dari gagasan mahzab liertarian inilah kemudian berkembang
arti neo-liberalisme dalam pengertian yang sekarang. Dimana penggerak utamanya
adalah para ekonom yang terkait dengan Universitas Chicago setelah Perang Dunia
II, seperti Friedrich von Hayek, Milton Friedman, Gary Becker, George Stigler.
(George, 1999; Tilman, 2001)
Namun demikian, istilah “neo-liberalisme” rupanya adalah
istilah yang lebih dekat dengan sejarah pemikiran politik Eropa Barat (Spektrum
‘konservatif’ – ‘Liberal’ – ‘sosial progresif’) daripada dengan sejarah politik
Amerika Serikat (Spektrum ‘konservatif – ‘liberal’). Istilah “sosialis” di
Eropa lebih dekat dengan kategori “liberal” di Amerika Serikat, dan istilah
“liberal” di Amerika Serikat lebih dekat dengan kategori “sosialis” di Eropa
daripada dengan istilah “liberal” di Eropa. Perbedaan inilah yang kemudian juga
menjadikan istilah “neo-liberalisme” dalam pengertian dewasa ini tidak terlalu
dikenal di Amerika Serikat. Di AS, istilah “neo-liberal” dalam pengertian
dewasa ini lebih disebut dengan istilah “libertarian” (Bishop, 2004).
B. Definisi Neo-Liberalisme
Neo-liberalisme pertama-tama bukan urusan ekonomi, tetapi
suatu proyek filosofis yang beraspirasi menjadi teori komprehensif tentang
manusia dan tatanan masyarakat. Gagasan neo-liberalisme kira-kira
dapat diringkas begini. Ragam relasi manusia bisa saja disebut kultural,
politik, legal, sosial, psikologis, estetik, spiritual dan seterusnya. Namun,
bila harus dikatakan secara lugas, beragam relasi itu dipandu oleh prinsip
transaksi laba-rugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar (Becker, 1976)
Bagi para ekonom libertarian ini, tak ada avatar spontanitas
dan kesukarelaan yang lebih sempurna daripada relasi dalam pasar-bebas.
Friedrich Hayek dan Milton Friedman paling tegas mengajukan pokok ini. “Kapitalisme”,
tulis Friedman, “adalah prasyarat kebebasan politik”. Justru karena
itu, perhatian utama ditujukan pada corak spontanitas yang berlangsung di pasar
bebas. Corak spontanitas dan kesukarelaan dalam transaksi ekonomi pasar adalah
model kebebasan sejati. Manusia tentu seperti taman keragaman: ia homo
culturalis, homo politicus, homo legalis, homo spiritualis,
dan seterusnya. Akan tetapi, di kedalaman sana ia pertama-tama adalah homo
oeconomicus (Hayek, 1944;
Friedman, 1962).
Definisi mendasar dapat ditelusuri kembali melalui liberalisme klasik yang dianjurkan oleh
Adam Smith, dan dengan konsepsi tertentu dari manusia dan masyarakat di mana
dia mendirikan teori ekonominya. Neoliberalisme, di bawah pandangan ini,
dianggap sebagai "paradigma" yang sama sekali baru untuk teori ekonomi
dan pembuatan kebijakan - ideologi di belakang panggung paling baru dalam
pengembangan masyarakat kapitalis - dan pada saat yang sama kebangkitan teori
ekonomi Smith dan ahli waris intelektual di abad kesembilan belas (Clarke
2005).
Argumen tersebut dilanjutkan oleh Palley
(2005), yang berpendapat bahwa "pembalikan besar" telah terjadi, di
mana neoliberalisme telah menggantikan teori ekonomi John Maynard Keynes (1936)
dan para pengikutnya. Keynesianisme adalah kerangka teoritis yang dominan di
bidang ekonomi dan ekonomi pembuatan kebijakan pada periode antara 1945 dan
1970, tetapi kemudian digantikan oleh pendekatan yang lebih
"monetaris" terinspirasi oleh teori-teori dan penelitian dari Milton
Friedman (1962). Sejak itu, dunia seakan dituntun untuk percaya bahwa
"neoliberalisme", yaitu monetarisme dan teori-teori terkait, telah
mendominasi pembuatan kebijakan ekonomi makro, seperti ditunjukkan oleh
kecenderungan terhadap kurangnya peraturan negara pada ekonomi, dan penekanan lebih besar pada
stabilitas ekonomi daripada tujuan kebijakan "Keynesian" seperti
pengangguran dan pengentasan kemiskinan.
Seperti yang
dijelaskan oleh Munck (2005),
kemungkinan "pasar yang mengatur dirinya sendiri" adalah asumsi inti
dalam liberalisme klasik, dan anggapan penting di antara neoliberal juga.
Alokasi sumber daya yang efisien adalah tujuan yang paling penting dari sebuah
sistem ekonomi, dan cara yang paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya
berjalan melalui mekanisme pasar, sesuai dengan apa Munck menggambarkan sebagai
"teori ekonomi neoliberal". Kisah intervensi dalam perekonomian dari
instansi pemerintah karena itu hampir selalu tidak diinginkan, karena intervensi
dapat merusak logika pasar yang sudah tersetting, dan dengan demikian mengurangi
efisiensi ekonomi.
Harvey (2005) mengatakan
bahwa "Neoliberalisme adalah
pada tingkat pertama teori praktek ekonomi politik yang mengusulkan bahwa
manusia dengan wujud terbaik dapat maju dengan membebaskan kebebasan
kewirausahaan individu dan keterampilan dalam kerangka kelembagaan yang kuat
ditandai dengan hak kepemilikan pribadi, pasar bebas dan perdagangan bebas.
Peran negara adalah untuk menciptakan dan mempertahankan suatu kerangka
kelembagaan yang tepat untuk praktek-praktek tersebut. Negara harus menjamin,
misalnya, kualitas dan integritas uang. Ia juga harus mengatur militer mereka,
pertahanan, polisi dan struktur hukum dan fungsi yang diperlukan untuk
mengamankan hak milik pribadi dan menjamin, dengan kekerasan jika perlu,
berfungsinya pasar. Selain itu, jika pasar tidak ada (di daerah seperti tanah,
air, pendidikan, perawatan kesehatan, jaminan sosial, atau polusi lingkungan)
maka mereka harus diciptakan, oleh tindakan negara jika perlu. Tapi di luar
tugas-tugas itu negara tidak harus ada. Intervensi negara dalam pasar (sekali dibuat) harus disimpan secara
minimal karena menurut teori ini, negara tidak mungkin memiliki informasi yang
cukup untuk menerka sinyal pasar (harga) dan karena kelompok kepentingan yang
kuat pasti akan mendistorsi dan intervensi Bias negara (terutama dalam
demokrasi) untuk keuntungan mereka sendiri"
Dengan definisinya tersebut, Harvey menegaskan untuk melihat
neoliberalisme, bukan sebagai peremajaan
liberalisme pada umumnya, tetapi sebagai teori ekonomi khas yang dalam beberapa
kali telah menggantikan sebuah "liberalisme yang tertanam" lebih
berwatak halus, yaitu pendekatan Keynesian terhadap tata kelola ekonomi makro
modern yang terinspirasi oleh liberalisme . Hal ini jelas bahwa Harvey melihat
neoliberalisme bukan sebagai kelanjutan dari liberalisme "yang sebenarnya",
tetapi sebagai sesuatu yang hidup secara independen dari nilai-nilai liberal
arus utama dan kebijakan.
Genius neo-liberalisme bukan terletak dalam gagasan ekonomi,
yang sesungguhnya hanya radikalisasi prinsip pasar menuju konsekuensi
terjauhnya. Apa yang menggetarkan adalah bahwa neo-liberalisme merupakan proyek
normatif mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip pasar-bebas. Jika
proyek liberalisme ekonomi bergerak dengan prinsip bahwa alokasi banyak
barang/jasa harus ditentukan oleh kinerja pasar, neo-liberalisme melakukan
radikalisasi dengan menggagas “semua relasi manusia ditentukan oleh kinerja
pasar” dan menuntut “prinsip pasar diterapkan bukan hanya pada alokasi
barang/jasa”. Jika dalam liberalisme ekonomi abad ke-19, prinsip pasar
diterapkan dalam pengadaan barang seperti, misalnya, pakaian dan perhiasan,
dalam proyek neo-liberalisme prinsip itu diterapkan juga untuk pengadaan
pendidikan dan kesehatan (Clarke, 2005; Treanor, 2005).
Dari proses suatu transaksi pasar diciptakan beberapa
sub-transaksi, kemudian dari beberapa sub-transaksi pasar itu diciptakan lagi
berbagai sub-sub-transaksi lain. Begitu seterusnya, sampai transaksi awal antara
A dan B tenggelam dalam sekian banyak sub-transaksi dan sub-sub-sub transaksi
antara. Melalui proses ini muncul apa yang disebut ‘ekonomi maya’, dengan
buihnya yang sering samasekali tak punya kaitan apapun dengan perkembangan
‘ekonomi sektor riil’ (Leyshon et all,
2005; Dumenil and Levy, 2004).
Ringkasnya, dalam proyek neo-liberalisme, “tidaklah cukup
prinsip pasar diterapkan pada barang/jasa ekonomi; ia harus diterapkan di
bidang lain. Tidaklah cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain
pasar”(Treanor, 2005).
C. Kebijakan Publik di
Indonesia
Kembali kepada gagasan Harvey, jantung neo-liberalisme adalah
gagasan bahwa suatu tindakan disebut lebih bernilai dibanding tindakan lain
apabila tindakan itu menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Itu
ungkapan lain dari pernyataan bahwa jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai
dibanding kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang
menghasilkan daya-beli lebih tinggi dalam kinerja pasar. Dari sinilah kemudian
lahir sebuah normatifitas “pelaku yang mempunyai daya-beli lebih tinggi
ditetapkan lebih bernilai dibanding pelaku yang berdaya-beli lebih rendah”. Hal
ini dikarenakan dalam ekonomi pasar berlaku “the highest bidder, the winner”,
semakin tinggi daya-beli, semakin tinggi pula nilainya. Itulah mengapa,
meskipun dalilnya setiap orang adalah “pengusaha swasta”, proyek neo-liberal
memberikan perlakuan amat istimewa kepada perusahaan-perusahaan raksasa, dan
bukan usaha mikro atau kecil. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa konflik
‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan untuk bekerja’ berakhir dengan prioritas ‘kebebasan
modal’ – investor ditetapkan lebih bernilai daripada buruh. Apa yang ditempuh
proyek neo-liberal adalah “menyempitkan atau bahkan meremuk konsep kebebasan
dengan menetapkannya sebagai kebebasan bisnis” (Harvey, 2005)
Dari penjelasan tersebut dapat kita maknai bahwa inti
neo-liberalisme adalah daya beli yang dimiliki oleh seseorang. Dan permasalahan
pelik di negara ini, seperti yang telah disampaikan di awal tulisan, adalah
tidak meratanya distribusi kesejahteraan di negara ini yang kemudian terjadinya
disparitas yang sangat tinggi dalam hal daya beli masyarakat tersebut.
Memang, ketika suatu negara mendasarkan pondasi ekonominya
pada pilar-pilar neo-liberal (deregulasi, liberalisasi, privatiasi), seperti
halnya anjuran IMF untuk ekonomi makro Indonesia, akan tercipta pertumbuhan
ekonomi yang menunjukkan trend meningkat. Namun demikian, harus ditelaah lebih
jauh, apakah trend peningkatan tersebut adalah representasi sesugguhnya dari
pertumbuhan ekonomi masyarakat? Saya yakin jawabannya adalah tidak. Dengan
asumsi pertumbuhan ekonomi negara sebesar 6%, misalnya, maka dapat diartikan
secara sederhana bahwa kemampuan ekonomi masyarakat juga akan meningkat 6% dari
total kemampuannya selama satu tahun.
Jika A memiliki kekayaan di atas ratusan juta selama setahunnya dan B
hanya sebesar ratusan ribu dalam setahunnya, maka akan terlihat, dengan
kenaikan 6%, bahwa si A akan menjadi lebih kaya dalam waktu yang relatif cepat
sementara si B harus bersabar dengan prosentase peningkatan tersebut.
Dan yang menjadi perhatian lebih adalah ketika pemegang
kekuasaan ditentukan oleh siapa yang memegang daya beli paling besar. Sehingga
lahirlah apa yang disebut sebagai kelompok elite
yang memegang peran dominan dalam sebuah proses penentuan kebijakan kenegaraan
(publik). Dengan fenomena ini jelas dapat disimpulkan bahwa paradigma pembuatan
kebijakan publik di Indonesia tidak dapat disandarkan pada neo-liberalisme
karena secara konstitusi bertentangan dengan falsafah demokrasi pancasila yang
meletakkan dasar pelaksanaan agenda kenegaraannya kepada seluruh hajat hidup
rakyat Indonesia.
Neo-liberalisme, jika diterapkan, di negara seperti
Indonesia, dimana distribusi kesejahteraan kepada rakyatnya masih tidak merata,
hanya akan membawa negara tersebut ke dalam kehancuran. Ketidakadilan dalam
pendistribusian kesejahteraan akan menjadikan gap yang semakin lama semakin
membesar di dalam lapisan masyarakat. Ibarat sebuah cemeti, seseorang dengan
kemampuan daya beli yang lebih akan semakin cepat berlari. Sebaliknya, seseorang
dengan kemampuan daya beli yang rendah hanya akan semakin terpuruk oleh cemeti
yang bernama neo-liberalisme tersebut. []
*) Dhedhi Irawanto, S.Hut
Pustaka
Becker, Gary S. (1976) The Economic Approach to Human
Behavior, Chicago: The University of Chicago Press.
Bishop, Matthew (2004) Essential Economics, London:
The Economist & Profile Books.
Clarke, Simon (2005) ‘The Neoliberal Theory of Society’ dalam
A. Saad-Filho & D. Johnston (eds), Neoliberalism: A Critical Reader,
London: Pluto, hlm 50-59.
Duménil, Gérard & Lévy, Dominique (2004) Capital
Resurgent: Roots of the Neoliberal Revolution, Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Eucken, Walter ([1952] 1982) ‘A Policy for Establishing a
System of Free Enterprise’ dalam Ludwig Erhard Stiftung, Standard Texts on
the Social Market Economy, Stuttgart/New York: Fischer, hlm 115-131.
Friedman, Milton (1962) Capitalism and Freedom,
Chicago: The University of Chicago Press.
Friedrich, Carl J. (1955) ‘The Political Thought of
Neoliberalism’, American Political Science Review, 49/2, hlm
509-525.
George, Susan (1999) ‘A Short History of Neoliberalism:
Twenty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities for Structural
Change’, paper presented to the Conference on Economic Sovereignty in a
Globalising World, Bangkok, 24-26 March.
Grossekettler, Heinz G. (1994) ‘On Designing an Institutional
Infrastructure for Economies: The Freiburg Legacy after 50 Years’, Journal
of Economic Studies, 21/4, hlm 9-24.
Hayek, Friedrich A. (1944) The Road to Serfdom,
Chicago: The University of Chicago Press.
Harvey, David (2005) A Brief History of Neoliberalism,
Oxford: Oxford University Press.
Munck, Ronaldo (2005) ‘Neoliberalism and Politics, and the
Politics of Neoliberalism’ dalam A. Saad-Filho & D. Johnston (eds), Neoliberalism:
A Critical Reader, London: Pluto, hlm 60-69.
Lemke, Thomas (2001) ’The Birth of Bio-Politics’, Economy
and Society, 30/2, May, hlm 190-207.
Leyshon, Andrew et al. (2005) ‘Accounting for
E-Commerce: Abstractions, Virtualism, and the Cultural Circuit of Capital’, Economy
and Society, 34/3, August, hlm 428-450.
Palley, Thomas I. (2005): “From Keynesianism to
Neoliberalism: Shifting Paradigms”; pp. 20-29 in Alfredo Saad-Filho and Deborah
Johnston: Neoliberalism – A Critical Reader. London: Pluto Press.
Streit, M. E. (1994), ‘The Freiburg School of Law and
Economics’ dalam Peter J. Boettke (ed.), The Elgar Companion to Austrian
Economics, London: Edward Elgar, hlm 508-515.
Tilman, Rick (2001), Ideology and Utopia in the Social
Philosophy of the Libertarian Economists, Greenwood Press.
Treanor, Paul (2005) ‘Neoliberalism: Origins, Theory,
Definition’, (diakses 03 April 2012) http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neo-liberalism.html
No comments:
Post a Comment