Thursday, April 12, 2012

NEO-LIBERALISME DAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA

Beberapa hari yang lalu bangsa ini telah disibukkan oleh berbagai macam aksi penolakan kenaikan harga BBM. Dalam aksi tersebut kerap dipekikkan bahwa kenaikan BBM adalah kebijakan negara yang telah disusupi paham neo-liberalisme, sebuah paham yang menurut mereka lebih menitik-beratkan segala macam kebijakan negara pada tuntutan pasar ekonomi global. Tidak hanya itu neo-liberal juga dituding sebagai biang dari ketidakmerataan kesejahteraan yang dinikmati oleh warga negara. Ada yang meyebut bahwa bangunan kesejahteraan negara ini seperti piramida. Di bagian paling atas, yaitu 10% orang Indonesia adalah mereka yang disebut sebagai konglomerat, menikmati kesejahteraan bangsa sebesar 60%. Di bagian tengah, yaitu 30% orang dengan kategori kelas menengah menikmati kesejahteraan negara hanya sampai 30%. Dan sisanya, yaitu bagian terbawah, yaitu sebanyak 60% dari total manusia negara ini hanya menikmati 10% saja kesejahteraan negara. 

Untuk memahami lebih jauh mengenai hal tersebut, paha neo-liberalisme, maka perlu untuk diketahui lebih jauh mengenai sejarah konseptual dari paham neo-liberalisme tersebut dan bagaimana para ahli mendefinisikan neo-liberalisme itu dan apakah memang kebijakan publik di Indonesia dapat menggunakan neo-liberalisme sebagai sebuah paradigma kenegaraan.


A.   Sejarah Konseptual Neo-Liberalisme

Istilah “neo-liberalisme” yang sekarang ini pada mulanya adalah istilah yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang ekstrim. Namun jika dilihat coraknya, pelawanan terhadap rezim tersebut dapat dipelajari di awal dasawarsa 1930an ketika Jerman dilingkupi oleh Fascisme yang merupakan gabungan antara totalitarianisme dengan kolektivisme. Gagasan “melawan” tersebut dihimpun oleh beberapa ahli ekonomi dan hukum yang terkait dengan Universitas Freiburg yang kemudian menamakan gagasan ekonomi-politik tersebut sebagai “Mahzab Freiburg” dimana dasar pemikirannya berkumpul di sekitar pemikir Walter Eucken (1891-1950) dan Franz Bohm (1895-1977). Dari hasil berkumpul tersebut terbitlah jurnal ordo (yang berarti kurang lebih adalah tatanan) yang sering disebut sebagai neo-liberal, dimana kata “neo” adalah untuk membedakan diri dengan paham liberal di abad 18 dan 19 dimana isi dari pembeda tersebut adalah dengan kritik terhadap sosialisme di dalamnya. (Treanor, 2005)

Pemikiran mahzab ordo-liberal tersebut menjadi cikal-bakal desain “ekonomi pasar-sosial” yang kemudian menjadi landasan pembangunan ekonomi Jerman Barat setelah Perang Dunia II. Keadaan tata-negara di Jerman pada waktu itu menyebabkan kegelisahan dari para pemikir tersebut yang kemudian menuangkan sebuah inti dari gagasan tersebut kedalam sebuah pertanyaan: apabila persoalan kaum liberal di abad ke-18 dan ke-19 adalah bagaimana menciptakan kebebasan ekonomi dalam tatanan negara yang tidak bebas, masalah kaum liberal di paruh pertama abad ke-20 adalah bagaimana mendirika tata-negara dalam suasana kebebasan ekonomi yang sudah ada (Streit,1994).

Pusat pemikiran filsafat ordo-liberal tersebut adalah gagasan anti-naturalistik tentang ekonomi pasar. Artinya, pasar adalah satu dari beragam relasi yang diciptakan manusia sehingga dapat dibentuk, dihancurkan dan diubah menurut desain yang diinginkan. Intinya adalah bawha kinerja pasar selalu membutuhkan tindakan politik yang membentuk nilai moral dan kultural bagi pengadaan barang dan jasa ekonomi, sekaligus untuk mencegah kolonisasi prinsip ekonomi pasar atas bidang-bidang moral dan kultural (Lemke, 2001).

Karena pasar merupakan salah satu relasi yang diciptakan untuk membantu pengadaan kebutuhan barang dan jasa, dinamika perubahan sosial tidak dapat diserahkan kepada kinerja-pasar tanpa kerangka tata-sosial. Sehingga fokus perdebatan ordo-liberal berada pada sejauh mana kinerja pasar dapat membantu terjadinya “kontrak sosial” (Grossekettler, 1994).

Berdasarkan premis tersebut, agenda transformasi ekonomi terletak dalam upaya mengubah kapitalisme secara terus-menerus menurut visi “kontrak sosial”. Gagasan ordo-liberal tersebut berada dalam tegangan antara individualitas kebebasan dan sosialitas tatanan. Tugas tata-pemerintahan melalui berbagai kebijakan adalah menjaga tegangan itu, dan bukan menghapus salah satu kutub dengan menerapkan komando sentral maupun menyerahkan pembentukan tatanan sosial kepada kenrja pasar. (Friedrich , 1955).

Mahzab ordo-liberal tersebut ternyata dihuni oleh beberapa gagasan yang tidak seragam. Jaringan ordo-liberal dihuni oleh banyak pemikir yang terutama terkait dengan Mahzab Freiburg (Jerman) dan Universitas Chicago (Amerika Serikat). Dalam perkembangannya, keragaman pemikiran mereka terbelah menjadi tiga aliran (Grossekettler, 1994).

Kelompok pertama, yang biasa disebut sebagi “sosial liberalis” berkupul di sekitar pemikir Karl Schiller. Mereka percaya bahwa ekonomi pasar harus dijalankan untuk pengadaan berbagai barang dan jasa, meskipun tidak semua. Tetapi mereka juga punya kecurigaan mendalam terhadap kecenderungan perluasan prinsip pasar ke bidang lain. Maka mereka menggagas, kompetisi ekonomi harus dijalankan sejauh mungkin, tetapi bila kompetisi membawa konsentrasi kekuasaan dan marginalisasi, intervensi harus dilakukan melalui regulasi. Sehingga dikatakan bahwa sistem ekonomi yang baik adalah ekonomi pasar yang dikawal oleh regulasi (Grossekettler, 1994).

Kelompok kedua terdiri dari pemikir inti ordo-liberal seperti Eucken dan Bohm. Mereka menaruh kecurigaan ganda baik terhadap intervensi lewat regulasi, maupun pada ciri alami kompetisi pasar. Antara pendulum intervensi-regulasi dan kompetisi-alami, mahzab ini menggagas ekonomi pasar bukan sebagai relasi yang terpisah dari semesta relasi politik, kultural dan sosial melainkan “tertanam” dalam semesta relasi tersebut. Kunci pendekatan ekonomi bukan terletak dalm regulasi, dan juga bukan pada “tangan tak terlihat”, tetapi dala kerangka institusional yang membuat relasi-relasi ekonomi, kultural, politik, hukum serta moral yang terjalin erat satu sama lain sebagai sebuah tatanan sosial. Ekonomi yang baik adalah ekonomi pasar sosial (Eucken, 1952).

Kelompok ketiga terdiri dari para pemikir ekonomi mahzab Austria (seperti Friedrich von Hayek) dan mahzab Chicago (seperti Milton Friedman) yang berjaring denga mahzab Freiburg. Inilah mahzab yang kemudian disebut sebagai kaum “libertarian”. Mereka melai dari premis bahwa semua bentuk tatanan yang baik terbentuk secara spontan dari prinsip kebebasan, dan kebebasan itu hanya terlaksana dalam tatanan yang terbentuk dari relasi-relasi spontan. Ekonomi pasar bebas adalah lokus dan model spontanitas serta kebebasan itu, dan semua bentuk perencanaan ekonomi adalah jalan menuju perbudakan. Oleh karena itu, segala batasan politik, kultural, sosial dan hukum serta regulasi pemerintah harus se-minimal mungkin. Sistem ekonomi yang baik adalah “ekonomi pasar bebas” (Hayek, 1944).

Dari gagasan mahzab liertarian inilah kemudian berkembang arti neo-liberalisme dalam pengertian yang sekarang. Dimana penggerak utamanya adalah para ekonom yang terkait dengan Universitas Chicago setelah Perang Dunia II, seperti Friedrich von Hayek, Milton Friedman, Gary Becker, George Stigler. (George, 1999; Tilman, 2001)

Namun demikian, istilah “neo-liberalisme” rupanya adalah istilah yang lebih dekat dengan sejarah pemikiran politik Eropa Barat (Spektrum ‘konservatif’ – ‘Liberal’ – ‘sosial progresif’) daripada dengan sejarah politik Amerika Serikat (Spektrum ‘konservatif – ‘liberal’). Istilah “sosialis” di Eropa lebih dekat dengan kategori “liberal” di Amerika Serikat, dan istilah “liberal” di Amerika Serikat lebih dekat dengan kategori “sosialis” di Eropa daripada dengan istilah “liberal” di Eropa. Perbedaan inilah yang kemudian juga menjadikan istilah “neo-liberalisme” dalam pengertian dewasa ini tidak terlalu dikenal di Amerika Serikat. Di AS, istilah “neo-liberal” dalam pengertian dewasa ini lebih disebut dengan istilah “libertarian” (Bishop, 2004).


B.   Definisi Neo-Liberalisme

Neo-liberalisme pertama-tama bukan urusan ekonomi, tetapi suatu proyek filosofis yang beraspirasi menjadi teori komprehensif tentang manusia dan tatanan masyarakat. Gagasan neo-liberalisme kira-kira dapat diringkas begini. Ragam relasi manusia bisa saja disebut kultural, politik, legal, sosial, psikologis, estetik, spiritual dan seterusnya. Namun, bila harus dikatakan secara lugas, beragam relasi itu dipandu oleh prinsip transaksi laba-rugi yang berlaku dalam kinerja ekonomi pasar (Becker, 1976)

Bagi para ekonom libertarian ini, tak ada avatar spontanitas dan kesukarelaan yang lebih sempurna daripada relasi dalam pasar-bebas. Friedrich Hayek dan Milton Friedman paling tegas mengajukan pokok ini. “Kapitalisme”, tulis Friedman, “adalah prasyarat kebebasan politik”. Justru karena itu, perhatian utama ditujukan pada corak spontanitas yang berlangsung di pasar bebas. Corak spontanitas dan kesukarelaan dalam transaksi ekonomi pasar adalah model kebebasan sejati. Manusia tentu seperti taman keragaman: ia homo culturalis, homo politicus, homo legalis, homo spiritualis, dan seterusnya. Akan tetapi, di kedalaman sana ia pertama-tama adalah homo oeconomicus (Hayek, 1944; Friedman, 1962).

Definisi mendasar dapat ditelusuri kembali melalui liberalisme klasik yang dianjurkan oleh Adam Smith, dan dengan konsepsi tertentu dari manusia dan masyarakat di mana dia mendirikan teori ekonominya. Neoliberalisme, di bawah pandangan ini, dianggap sebagai "paradigma" yang sama sekali baru untuk teori ekonomi dan pembuatan kebijakan - ideologi di belakang panggung paling baru dalam pengembangan masyarakat kapitalis - dan pada saat yang sama kebangkitan teori ekonomi Smith dan ahli waris intelektual di abad kesembilan belas (Clarke 2005).

Argumen tersebut dilanjutkan oleh Palley (2005), yang berpendapat bahwa "pembalikan besar" telah terjadi, di mana neoliberalisme telah menggantikan teori ekonomi John Maynard Keynes (1936) dan para pengikutnya. Keynesianisme adalah kerangka teoritis yang dominan di bidang ekonomi dan ekonomi pembuatan kebijakan pada periode antara 1945 dan 1970, tetapi kemudian digantikan oleh pendekatan yang lebih "monetaris" terinspirasi oleh teori-teori dan penelitian dari Milton Friedman (1962). Sejak itu, dunia seakan dituntun untuk percaya bahwa "neoliberalisme", yaitu monetarisme dan teori-teori terkait, telah mendominasi pembuatan kebijakan ekonomi makro, seperti ditunjukkan oleh kecenderungan terhadap kurangnya peraturan negara pada ekonomi, dan penekanan lebih besar pada stabilitas ekonomi daripada tujuan kebijakan "Keynesian" seperti pengangguran dan pengentasan kemiskinan.

Seperti yang dijelaskan oleh Munck (2005), kemungkinan "pasar yang mengatur dirinya sendiri" adalah asumsi inti dalam liberalisme klasik, dan anggapan penting di antara neoliberal juga. Alokasi sumber daya yang efisien adalah tujuan yang paling penting dari sebuah sistem ekonomi, dan cara yang paling efisien untuk mengalokasikan sumber daya berjalan melalui mekanisme pasar, sesuai dengan apa Munck menggambarkan sebagai "teori ekonomi neoliberal". Kisah intervensi dalam perekonomian dari instansi pemerintah karena itu hampir selalu tidak diinginkan, karena intervensi dapat merusak logika pasar yang sudah tersetting, dan dengan demikian mengurangi efisiensi ekonomi.

Harvey (2005) mengatakan bahwa "Neoliberalisme adalah pada tingkat pertama teori praktek ekonomi politik yang mengusulkan bahwa manusia dengan wujud terbaik dapat maju dengan membebaskan kebebasan kewirausahaan individu dan keterampilan dalam kerangka kelembagaan yang kuat ditandai dengan hak kepemilikan pribadi, pasar bebas dan perdagangan bebas. Peran negara adalah untuk menciptakan dan mempertahankan suatu kerangka kelembagaan yang tepat untuk praktek-praktek tersebut. Negara harus menjamin, misalnya, kualitas dan integritas uang. Ia juga harus mengatur militer mereka, pertahanan, polisi dan struktur hukum dan fungsi yang diperlukan untuk mengamankan hak milik pribadi dan menjamin, dengan kekerasan jika perlu, berfungsinya pasar. Selain itu, jika pasar tidak ada (di daerah seperti tanah, air, pendidikan, perawatan kesehatan, jaminan sosial, atau polusi lingkungan) maka mereka harus diciptakan, oleh tindakan negara jika perlu. Tapi di luar tugas-tugas itu negara tidak harus ada. Intervensi negara dalam pasar (sekali dibuat) harus disimpan secara minimal karena menurut teori ini, negara tidak mungkin memiliki informasi yang cukup untuk menerka sinyal pasar (harga) dan karena kelompok kepentingan yang kuat pasti akan mendistorsi dan intervensi Bias negara (terutama dalam demokrasi) untuk keuntungan mereka sendiri"

Dengan definisinya tersebut, Harvey menegaskan untuk melihat neoliberalisme,  bukan sebagai peremajaan liberalisme pada umumnya, tetapi sebagai teori ekonomi khas yang dalam beberapa kali telah menggantikan sebuah "liberalisme yang tertanam" lebih berwatak halus, yaitu pendekatan Keynesian terhadap tata kelola ekonomi makro modern yang terinspirasi oleh liberalisme . Hal ini jelas bahwa Harvey melihat neoliberalisme bukan sebagai kelanjutan dari liberalisme "yang sebenarnya", tetapi sebagai sesuatu yang hidup secara independen dari nilai-nilai liberal arus utama dan kebijakan.

Genius neo-liberalisme bukan terletak dalam gagasan ekonomi, yang sesungguhnya hanya radikalisasi prinsip pasar menuju konsekuensi terjauhnya. Apa yang menggetarkan adalah bahwa neo-liberalisme merupakan proyek normatif mengorganisir tata masyarakat menurut prinsip pasar-bebas. Jika proyek liberalisme ekonomi bergerak dengan prinsip bahwa alokasi banyak barang/jasa harus ditentukan oleh kinerja pasar, neo-liberalisme melakukan radikalisasi dengan menggagas “semua relasi manusia ditentukan oleh kinerja pasar” dan menuntut “prinsip pasar diterapkan bukan hanya pada alokasi barang/jasa”. Jika dalam liberalisme ekonomi abad ke-19, prinsip pasar diterapkan dalam pengadaan barang seperti, misalnya, pakaian dan perhiasan, dalam proyek neo-liberalisme prinsip itu diterapkan juga untuk pengadaan pendidikan dan kesehatan (Clarke, 2005; Treanor, 2005).

Dari proses suatu transaksi pasar diciptakan beberapa sub-transaksi, kemudian dari beberapa sub-transaksi pasar itu diciptakan lagi berbagai sub-sub-transaksi lain. Begitu seterusnya, sampai transaksi awal antara A dan B tenggelam dalam sekian banyak sub-transaksi dan sub-sub-sub transaksi antara. Melalui proses ini muncul apa yang disebut ‘ekonomi maya’, dengan buihnya yang sering samasekali tak punya kaitan apapun dengan perkembangan ‘ekonomi sektor riil’ (Leyshon et all, 2005; Dumenil and Levy, 2004).

Ringkasnya, dalam proyek neo-liberalisme, “tidaklah cukup prinsip pasar diterapkan pada barang/jasa ekonomi; ia harus diterapkan di bidang lain. Tidaklah cukup ada pasar, tetapi tidak boleh ada yang lain selain pasar”(Treanor, 2005).


C.   Kebijakan Publik di Indonesia

Kembali kepada gagasan Harvey, jantung neo-liberalisme adalah gagasan bahwa suatu tindakan disebut lebih bernilai dibanding tindakan lain apabila tindakan itu menghasilkan laba lebih besar dalam idiom ekonomi. Itu ungkapan lain dari pernyataan bahwa jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai dibanding kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang menghasilkan daya-beli lebih tinggi dalam kinerja pasar. Dari sinilah kemudian lahir sebuah normatifitas “pelaku yang mempunyai daya-beli lebih tinggi ditetapkan lebih bernilai dibanding pelaku yang berdaya-beli lebih rendah”. Hal ini dikarenakan dalam ekonomi pasar berlaku “the highest bidder, the winner”, semakin tinggi daya-beli, semakin tinggi pula nilainya. Itulah mengapa, meskipun dalilnya setiap orang adalah “pengusaha swasta”, proyek neo-liberal memberikan perlakuan amat istimewa kepada perusahaan-perusahaan raksasa, dan bukan usaha mikro atau kecil. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa konflik ‘kebebasan modal’ dan ‘kebebasan untuk bekerja’ berakhir dengan prioritas ‘kebebasan modal’ – investor ditetapkan lebih bernilai daripada buruh. Apa yang ditempuh proyek neo-liberal adalah “menyempitkan atau bahkan meremuk konsep kebebasan dengan menetapkannya sebagai kebebasan bisnis” (Harvey, 2005)

Dari penjelasan tersebut dapat kita maknai bahwa inti neo-liberalisme adalah daya beli yang dimiliki oleh seseorang. Dan permasalahan pelik di negara ini, seperti yang telah disampaikan di awal tulisan, adalah tidak meratanya distribusi kesejahteraan di negara ini yang kemudian terjadinya disparitas yang sangat tinggi dalam hal daya beli masyarakat tersebut.

Memang, ketika suatu negara mendasarkan pondasi ekonominya pada pilar-pilar neo-liberal (deregulasi, liberalisasi, privatiasi), seperti halnya anjuran IMF untuk ekonomi makro Indonesia, akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan trend meningkat. Namun demikian, harus ditelaah lebih jauh, apakah trend peningkatan tersebut adalah representasi sesugguhnya dari pertumbuhan ekonomi masyarakat? Saya yakin jawabannya adalah tidak. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi negara sebesar 6%, misalnya, maka dapat diartikan secara sederhana bahwa kemampuan ekonomi masyarakat juga akan meningkat 6% dari total kemampuannya selama satu tahun.  Jika A memiliki kekayaan di atas ratusan juta selama setahunnya dan B hanya sebesar ratusan ribu dalam setahunnya, maka akan terlihat, dengan kenaikan 6%, bahwa si A akan menjadi lebih kaya dalam waktu yang relatif cepat sementara si B harus bersabar dengan prosentase peningkatan tersebut.

Dan yang menjadi perhatian lebih adalah ketika pemegang kekuasaan ditentukan oleh siapa yang memegang daya beli paling besar. Sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai kelompok elite yang memegang peran dominan dalam sebuah proses penentuan kebijakan kenegaraan (publik). Dengan fenomena ini jelas dapat disimpulkan bahwa paradigma pembuatan kebijakan publik di Indonesia tidak dapat disandarkan pada neo-liberalisme karena secara konstitusi bertentangan dengan falsafah demokrasi pancasila yang meletakkan dasar pelaksanaan agenda kenegaraannya kepada seluruh hajat hidup rakyat Indonesia.

Neo-liberalisme, jika diterapkan, di negara seperti Indonesia, dimana distribusi kesejahteraan kepada rakyatnya masih tidak merata, hanya akan membawa negara tersebut ke dalam kehancuran. Ketidakadilan dalam pendistribusian kesejahteraan akan menjadikan gap yang semakin lama semakin membesar di dalam lapisan masyarakat. Ibarat sebuah cemeti, seseorang dengan kemampuan daya beli yang lebih akan semakin cepat berlari. Sebaliknya, seseorang dengan kemampuan daya beli yang rendah hanya akan semakin terpuruk oleh cemeti yang bernama neo-liberalisme tersebut. []





*) Dhedhi Irawanto, S.Hut 




Pustaka

Becker, Gary S. (1976) The Economic Approach to Human Behavior, Chicago: The University of Chicago Press. 

Bishop, Matthew (2004) Essential Economics, London: The Economist & Profile Books.
 
Clarke, Simon (2005) ‘The Neoliberal Theory of Society’ dalam A. Saad-Filho & D. Johnston (eds), Neoliberalism: A Critical Reader, London: Pluto, hlm 50-59. 

Duménil, Gérard & Lévy, Dominique (2004) Capital Resurgent: Roots of the Neoliberal Revolution, Cambridge, MA: Harvard University Press. 

Eucken, Walter ([1952] 1982) ‘A Policy for Establishing a System of Free Enterprise’ dalam Ludwig Erhard Stiftung, Standard Texts on the Social Market Economy, Stuttgart/New York: Fischer, hlm 115-131. 

Friedman, Milton (1962) Capitalism and Freedom, Chicago: The University of Chicago Press. 

Friedrich, Carl J. (1955) ‘The Political Thought of Neoliberalism’, American Political Science Review, 49/2, hlm 509-525. 

George, Susan (1999) ‘A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities for Structural Change’, paper presented to the Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Bangkok, 24-26 March. 

Grossekettler, Heinz G. (1994) ‘On Designing an Institutional Infrastructure for Economies: The Freiburg Legacy after 50 Years’, Journal of Economic Studies, 21/4, hlm 9-24. 

Hayek, Friedrich A. (1944) The Road to Serfdom, Chicago: The University of Chicago Press. 

Harvey, David (2005) A Brief History of Neoliberalism, Oxford: Oxford University Press. 

Munck, Ronaldo (2005) ‘Neoliberalism and Politics, and the Politics of Neoliberalism’ dalam A. Saad-Filho & D. Johnston (eds), Neoliberalism: A Critical Reader, London: Pluto, hlm 60-69. 

Lemke, Thomas (2001) ’The Birth of Bio-Politics’, Economy and Society, 30/2, May, hlm 190-207. 

Leyshon, Andrew et al. (2005) ‘Accounting for E-Commerce: Abstractions, Virtualism, and the Cultural Circuit of Capital’, Economy and Society, 34/3, August, hlm 428-450.

Palley, Thomas I. (2005): “From Keynesianism to Neoliberalism: Shifting Paradigms”; pp. 20-29 in Alfredo Saad-Filho and Deborah Johnston: Neoliberalism – A Critical Reader. London: Pluto Press.

Streit, M. E. (1994), ‘The Freiburg School of Law and Economics’ dalam Peter J. Boettke (ed.), The Elgar Companion to Austrian Economics, London: Edward Elgar, hlm 508-515. 

Tilman, Rick (2001), Ideology and Utopia in the Social Philosophy of the Libertarian Economists, Greenwood Press. 

Treanor, Paul (2005) ‘Neoliberalism: Origins, Theory, Definition’, (diakses 03 April 2012) http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neo-liberalism.html

No comments:

Post a Comment