Menguak Realitas Menggapai Tataran Idealitas
Semuanya berawal dari kecelakaan yang dialami temanku. Kejadian itu menjadi musibah sekaligus berkah bagiku. Temanku harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Namun dari situlah kemudian aku bisa mengenal sosok itu. Sosok yang penuh dengan elegi pemaknaan tentang hidup.
Waktu itu aku datang ke rumah sakit untuk menjenguk temanku. Ketika berjalan melewati lorong rumah sakit, aku melihat seorang bapak tua sedang duduk seorang diri di bangku taman rumah sakit. Pernah tanpa sengaja aku melewati kamarnya yang tidak tertutup sehingga aku dapat melihatnya sedang tiduran di kamarnya. Terlihat tatapan mata seorang tua yang kosong. Lebih mencolok lagi, terlihat mulutnya tak berhenti berkomat-kamit, entah apa yang dilafadzkannya. Dan akhirnya aku tahu juga kalau di setiap apapun dia selalu tak berhenti berkomat-kamit.
Rasa penasaran mendorongku untuk mulai mencari tahu tentang bapak tua itu. Sejak saat itu aku seolah rajin mengamati aktifitas bapak itu. Selama aku mengamatinya, selama itu pula tak seorang pun datang menjenguknya. Aku mendapat informasi dari suster yang biasa merawat bapak itu. Ternyata dia memang hidup sebatang kara. Pak Jamal namanya. Setelah kecelakaan maut yang merenggut istri dan anak-anaknya, pihak rumah sakit merasa kasihan dan membolehkannya tinggal dan diberi perawatan tanpa memungut biaya sepeser pun dari pak tua itu. Oleh karena itu, Pak Jamal sudah dianggap sebagai warga tetap di Rumah Sakit ini. Sejak itu, muncul rasa iba dalam hatiku. Aku ingin mengenal sosok itu lebih dekat.
***
“Taman ini indah ya Pak…”
Aku mencoba membuka pembicaraan pada suatu kesempatan. Bapak tua itu menoleh kemudian berhenti berkomat-kamit. Senyumnya mengembang sebelum melontarkan pertanyaan.
“Apa yang membawamu kemari, Nak?”
“Ha nya rasa ingin tahu, Pak.”
Jawabku singkat. Sejenak kemudian bapak itu kembali bertanya,
“Sakit apa yang kamu derita hingga kau harus berada di tempat ini?”
“Teman saya yang dirawat di sini. Tiga hari yang lalu dia mengalami kecelakaan motor, kamarnya hanya tiga kamar jauhnya dari kamar bapak. Bapak sendiri, sejak kapan di rawat di sini? Apa yang membuat bapak harus berada di sini?”
Tanyaku berbasi-basi.
“Sabar lah sedikit anak muda.”
Aku hanya tersenyum. Kemudian bapak itu melanjutkan, lagi-lagi dengan sebuah pertanyaan,
“ Maukah kau mendengarkan sebuah kisah?”
Aku mengangguk cepat. Inilah yang aku tunggu-tunggu.
***
Ramah, murah senyum, dan penyayang. Kesan itulah yang pertama kali ku tangkap. Keningnya mulai menunjukkan gurat usianya. Matanya yang sayu seolah menyimpan peristiwa tragis dan pengalaman kelam masa lalu. Lewat mata itu, telah lebih dari setengah abad dia menyaksikan pertunjukan dunia ini, bahkan dia sendiri boleh dikatakan ikut menggawangi jalan ceritanya.
“Aku lahir dari keluarga yang pas-pasan, kalau tidak bisa dikatakan kekurangan. Kedua orangtuaku hanya buruh tani miskin.”
Pak Jamal mengawali ceritanya. Matanya menerawang, mungkin mencoba mengenang masa-masanya dulu. Kehidupan Pak Jamal di masa muda adalah potret buruknya distribusi kesejahteraan di bangsa ini. Namun demikian¸ Pak Jamal muda bukan sosok yang mudah menyerah pada keadaan. Sebagai anak pertama, Pak Jamal muda cukup gesit dalam menanggapi realitas hidupnya. Dia habiskan masa mudanya untuk belajar dan membantu orang tuanya bekerja. Bentuk syukur yang dalam akhirnya dijawab dengan kesuksesannya masuk sebuah PTN di Jawa. Dia mengambil jurusan pendidikan biologi dan hidup di kota dengan berbekal uang tabungan hasil jerih payah bekerja semasa sekolah.
“Setelah mendapatkan gelar sarjana, aku merasa terpanggil untuk datang ke sebuah kota kecil di kaki gunung yang memang pada saat itu sedang membutuhkan tenaga pendidik. Berbekal doa restu kedua orang tua, aku berangkat. Aku menjadi guru IPA di salah satu sekolah dasar di kota itu. Di sana juga aku akhirnya menemukan tambatan hatiku. Namanya Marni, dia adalah anak bungsu kepala sekolah tempatku mengajar. Berawal dari saling bertatap mata diam-diam di kantin sekolah, aku berniat mempersunting Marni. Beruntungnya lagi, ayah Marni ternyata juga berniat menjodohkan putri bungsunya itu denganku. Kami melalui proses ta’aruf hingga akhirnya kamipun menikah.”
Awal perjalanan perantauan Pak Jamal diceritakannya dengan lancar. Sepuluh tahun pernikahannya dikaruniai tiga orang anak, Hani, Rudi, anak laki-laki satu-satunya, dan si bungsu Maya. Hidupnya bisa dikatakan berjalan mulus, tanpa hambatan berarti. Namun roda kehidupan terus berputar, cobaan demi cobaan mulai menerpa keluarga Pak Jamal,
“Bapak mertuaku meninggal karena terserang stroke, Marni shock berat. Tidak lama setelah itu sekolah tempatku mengajar kena gusur dan harus di-merger dengan SD lain dengan alasan efisiensi pelayanan publik. Malangnya lagi, karena staf pengajar sudah mencukupi, beberapa tenaga honorer termasuk aku terpaksa kehilangan pekerjaan.”
Cobaan bertubi-tubi yang menghampiri untungnya tidak merenggut imannya. Tuhan masih berpihak padanya. Dengan kesadarannya, Pak Jamal mengurungkan niat bunuh diri yang sempat mampir di otaknya.
Aku sebenarnya sangat penasaran dengan kelanjutan kisah ini. Aku merasa bingung karena sebelum Pak Jamal bercerita padaku, aku telah mendengar sedikit cerita tentangnya dari suster yang merawatnya. Menurut suster itu, Pak Jamal adalah seorang pedagang yang cukup kaya. Usaha meubel miliknya sudah sangat terkenal di pasaran bahkan paling laris di antara usaha meubel yang lain. Namun melihat Pak Jamal yang terlihat letih setelah cukup lama bercerita, tampaknya aku harus sedikit menahan rasa penasaranku.
***
Meskipun temanku telah dinyatakan sehat dan boleh pulang, hari itu aku tetap berniat ke rumah sakit. Aku harus tetap memenuhi janjiku. Lagipula aku juga tidak ada acara lain, jadi apa salahnya jika aku menjenguk Pak Jamal. Tidak ada salahnya jika aku mencoba melanjutkan babak pertama perkenalanku dengannya yang telah terjalin hangat. Aku senang berkenalan dan menjadi sahabat bagi siapapun. Aku sadar betul bahwa fitrah manusia saling membutuhkan dan harus saling membantu tanpa peduli status sosial yang melekat.
Aku duduk di bangku taman tempat Pak Jamal biasa menghabiskan sore harinya. Pak Jamal datang beberapa menit kemudian.
“Ternyata kau anak muda yang mengerti arti penting sebuah janji.”
Kali ini Pak Jamal yang membuka pembicaraan.
“Waktu itu keadaan ekonomi negara sedang kacau. Inflasi yang berujung pada meningkatnya harga kebutuhan pokok menjadi rasionalisasi bagi mereka yang kurang bisa bertahan untuk mengakhiri hidupnya.”
Ternyata ingatan Pak Jamal masih kuat. Buktinya dia masih ingat di bagian mana ceritanya kemarin terpotong.
“Lalu apa yang Bapak pikirkan waktu itu?” tanyaku.
“Seperti kebanyakan orang pada saat itu, aku pun sempat berfikir untuk bunuh diri saja. Namun aku bersyukur akal sehat dan iman masih melekat dalam diriku. Aku sadar bahwa aku masih punya anak dan istri yang membutuhkanku. Aku lalu berfikir keras untuk bertahan hidup dan akhirnya aku dan Marni membuka sebuah toko kecil dengan modal pinjaman dari Bank. Namanya saja tidak ada kemampuan berbisnis yang mumpuni, dalam waktu setahun saja toko kami bangkrut. Belum lagi tagihan bank sudah jatuh tempo dan kami harus melunasinya.”
Aku bisa membayangkan betapa berat hidup yang harus dijalani keluarga Pak Jamal saat itu.
“Saat itulah datang Hari bagai pahlawan bagi kami.”
“Siapa Hari itu, Pak?” selaku.
“Hari sebenarnya masih kerabat Marni, namun karena keluarga besar Marni bermasalah, mereka terpisah jauh selama bertahun-tahun. Hari mengajakku berbisnis meubel. Aku menerima tawarannya.”
Dalam hati aku bertanya, bagaimana Pak Jamal bisa dengan mudah menerima tawaran berbisnis dari Hari, padahal Pak Jamal tidak mempunyai kemampuan berbisnis. Sekalinya mencoba berbisnis toko kecil-kecilan yang ada malah kebangkrutan dan tagihan hutang di bank. Tapi sedetik kemudian aku bisa memaklumi keputusan Pak Jamal. Di masa sulit seperti itu, tentunya Pak Jamal sebagai kepala keluarga akan melakukan segala cara agar anak istrinya bisa tetap makan. Toh ilmu berbisnis kan masih bisa dipelajari.
“Tapi ternyata Hari malah mengajakku menemui seorang dukun pesugihan di lereng gunung. Mungkin dia paham betul mengenai ketidakmahiranku dalam berbisnis sehingga dia ingin memperlancar usaha yang akan kami rintis. Berbekal kembang tujuh rupa dan kemenyan, kami berangkat malam-malam menuju tempat laknat itu. Pengalaman mendebarkan yang kupikir hanya ada di sinetron-sinetron mendadak muncul di hadapanku. Penampakan banyak terlihat di sepanjang jalan menuju gubuk si dukun. Begitu terkejutnya aku ketika sampai di gubuk si dukun itu. Kalau di tivi seorang dukun adalah orang tua dengan pakaian khas, tapi di sini dukun adalah seorang pemuda berpakaian parlente plus setelan jas dan komputer.”
Pak Jamal menghela nafas sejenak, aku pun bertanya,
“Apa yang terjadi di dalam gubuk itu?”
“Belum juga 15 menit aku berada di dalam, si dukun itu menyuruhku keluar. Aku tak tahu apa yang dibicarakan Hari dengan dukun konyol itu. 15 menit kemudian Hari keluar dengan botol kecil berisi jin. Aku ragu tapi setan dalam tubuh Hari seolah menertawakanku. Melunturkan iman dalam jiwa.”
Yah, aku paham betul karakter jin. Aku sepertinya dapat menebak apa yang terjadi kemudian. Pengalaman-pengalaman aneh mulai mewarnai kehidupan Pak Jamal. Benar saja, Pak Jamal kemudian bercerita, setiap malam Selasa Kliwon dia selalu bermimpi didatangi Jin dalam botol. Pernah suatu ketika di mimpi tersebut Pak Jamal diberi sebuah bungkusan berisi kembang dan kemenyan yang harus ditebar di depan toko meubel miliknya setiap hari menjelang subuh tiba. Awal mulanya Pak Jamal merasa bahwa itu hanyalah mimpi, tapi dia terkejut saat melihat di bawah bantalnya ternyata terdapat bungkusan yang serupa dengan mimpinya. Sekian detik ia berfikir, sambil melihat isterinya yang masih tertidur pulas, lantas terdengar bisikan bahwa ia harus segera menebar isi bungkusan tersebut. Beberapa hari kemudian kenyataan membelalakkan mata Pak Jamal. Toko meubel bambu miliknya didatangi beberapa orang kaya yang sangat tertarik dengan meubel bambu di tokonya. Padahal di kota tersebut, toko meubel yang menjual produk bambu macam begitu ada sekitar 6 sampai 7. Dalam hatinya ia bersyukur dan berterimakasih kepada Hari. Tiga bulan beroperasi, modal yang ditanamkan Hari sudah bisa dikembalikan oleh Pak Jamal.
Selanjutnya hampir sama dengan film di tivi, orang-orang pebisnis yang kaya itu tak mampu membagi kebahagiaan seutuhnya pada keluarga. Terlebih Pak Jamal, tempatnya berkeluh kesah dan berbagi bukan lagi keluarganya tapi adalah Jin yang selalu ditemuinya di mimpi tersebut.
Sampai di sini aku telah dapat menemukan pertalian antara cerita suster dengan kehidupan Pak Jamal yang sebenarnya. Aku menduga bahwa bencana yang menimpanya terjadi saat dia bergelimang harta hasil bisnis meubelnya yang berkolaborasi dengan jin.
Namanya juga Jin, seislami apapun label yang disematkan padanya tetap saja makhluk yang sulit untuk dipercaya kebenaran ucapannya. Dan sejak ketergantungan itu muncul akhirnya hubungan mereka berdua seperti terbalik. Jin itulah yang kemudian menyetir hidup Pak Jamal.
“Percaya atau tidak, sebaik apapun jin itu, dia tak pernah memberikan semuanya secara cuma-cuma. Awalnya dia hanya meminta darah ayam jago tiap selasa kliwon, lama-lama permintaannya semakin meningkat dan dengan kurang ajarnya, dia meminta aku mengorbankan Maya!”
Nada bicara Pak Jamal meninggi. Mungkin dia geram mengingat kejadian itu. Marah atas perlakuan jin yang telah menghancurkan kehidupannya. Sekalipun Pak Jamal menolak mengorbankan anak bungsunya, jin tak pernah kehabisan akal.
“Aku bingung, kalut. Di saat seperti itu, masalah baru muncul. Uang sebesar limaratus ribu hilang dari lemari di kamarku. Malam harinya, istri dan ketiga anakku berkumpul di ruang tengah. Saking buntunya pikiranku waktu itu, aku menuduh Hani lah pencurinya. Hani tak mengakuinya. Aku sangat marah sampai-sampai aku menampar Hani. Hani menangis diikuti teriakan histeris Marni melihat perlakuanku pada anak sulung kami itu. Si bungsu Maya ketakutan dan menangis sejadinya. Sementara Rudi hanya terdiam membisu seolah tak ingin menambah masalah.”
Aku pikir semua itu hanya tipu daya jin laknat itu, jin yang memperdaya Pak Jamal dalam kebingungannya. Jin yang memprovokasi Pak Jamal bahwa Hani lah yang mencuri uangnya padahal jin itu sendiri yang mencuri uang itu. Jin itu pula yang memutarbalikkan fakta hingga keadaan semakin tak karuan. Hanya saja pada saat itu Pak Jamal tidak menyadarinya.
“Setelah kejadian malam itu keadaan di rumah semakin memburuk. Tiada lagi keceriaan dari Maya yang sebelumnya suka menyanyi dan bercanda. Hani hanya bisa diam dan bertingkah seperti pembantu di rumah. Rudi lebih memilih untuk tidak pulang dan tinggal bersama temannya. Sementara Marni semakin tak tentu. Setiap hari pulang malam dan berbau alkohol. Setiap malam pula aku dan Marni bertengkar hebat. Dan parahnya lagi bisnis meubel yang kujalankan sudah hampir bangkrut. Keadaan seperti ini berlangsung seminggu hingga akhirnya Maya jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Aku sangat terpukul oleh kejadian ini. Terlebih lagi Marni yang malah berselingkuh dengan Hari di masa-masa sulitku.”
Pak Jamal menghentikan ceritanya. Dia menghela nafas panjang, seolah ingin mengangkat beban berat dari dadanya. Matanya menerawang dan mulai berkaca-kaca. Sejenak kemudian dia melanjutkan ceritanya,
“Suatu ketika aku datang menjenguk Maya di rumah sakit. Tanpa sengaja aku bertemu dengan Marni yang datang bersama Hari. Jantungku seakan mau copot. Aku dan Hari saling melempar tatapan sinis.”
Menurutku manusiawi sekali jika Pak Jamal marah pada Hari. Boleh dikatakan Hari lah awal semua bencana ini. Dan sekarang, istri yang dicintainya pun berpaling ke pelukan Hari.
“Ingin rasanya kutonjok mukanya saat itu namun suara rintihan Maya membubarkan amarahku. Segera aku merapat di sebelah Maya diikuti langkah berat Marni. Kemudian datang pula Rudi dan Hari pergi. Mungkin dia merasa ada di waktu yang kurang tepat. Tak lama berselang, Maya pun menghembuskan nafas terakhirnya. Dan seketika itu juga keluargaku seakan akur kembali dan saling berpelukan dengan iringan isakan tangis atas kepergian Maya. Tragis, ternyata Maya benar-benar menjadi tumbal, dengan cara yang lain.”
“Apakah kejadian ini yang akhirnya menyadarkan Bapak akan kekeliruan Bapak selama ini?”
Aku menyela, mencoba sedikit menebak alur kisah hidupnya. Dan ternyata tebakanku tepat,
“Begitulah Nak, saat pemakaman Maya, aku tak henti-hentinya melantunkan taubat, aku tahu penyesalan tiada lagi berguna, hanya beribu ampunan aku pintakan pada Tuhan atas kesyirikan yang kulakukan selama ini. Kami sekeluarga tetap berada di dekat pusara Maya sekalipun acara pemakaman telah selesai dan hadirin juga telah meninggalkan pusara. Hingga hujan datang, aku memutuskan untuk segera pulang. Dalam hati masing-masing kami bertekad untuk bersama-sama berikhtiar membangun kembali keluarga yang sempat hancur. Namun tragedi yang tak terduga kembali terjadi, hujan yang awalnya rintik-rintik berubah menjadi badai kilat yang mengerikan. Jalanan licin semakin mempersulit medan yang berkelok-kelok. Tiba-tiba selembar kain hitam yang entah darimana jatuhnya menutupi kaca depan mobil. Tentu saja penglihatanku menjadi terhalang. Karenanya aku tak dapat melihat truk yang datang dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Badan truk menyerempet sisi kiri mobil kami dan menyebabkannya terlontar ke jurang sedalam 20 meter. Naas merenggut nyawa istri dan anak-anakku, tinggallah aku sendirian sekarang.”
Takdir ternyata berkata lain. Tuhan tidak memberikan kesempatan pada Pak Jamal untuk membangun kembali bahtera rumah tangganya yang porak-poranda. Hari-hari selanjutnya dijalaninya sendiri, hanya berteman penyesalan mendalam yang tiada berujung.
***
Satu kisah baru melengkapi puzzle kehidupanku. Apa yang kudengar dari Pak Jamal adalah sebuah paradoks kehidupan. Gelimang harta ternyata tak mampu menjamin kebahagiaan bahtera keluarganya. Pak Jamal adalah contoh dari orang-orang kaya yang sebenarnya miskin secara jiwa. Otaknya berfungsi dengan sangat baik namun hatinya membeku.
Waktu yang silih berganti begitu lambat bagi Pak Jamal kini dijalaninya sendiri. Mata kanannya cacat akibat kecelakaan tragis itu. Ibarat hilangnya penglihatan matanya itu adalah pengingat bahwa di masa lalu dia telah menjadi manusia yang gagal menerima hal-hal baik dan cenderung melirik pada hal-hal yang bersifat instan. Kebahagiaan semu yang dinikmati oleh Pak Jamal sebenarnya hanyalah fatamorgana yang disajikan oleh Hari. Sungguh malang nasib Pak Jamal, nikmat yang tak seberapa harus diganjar dengan derita di dunia. Belum lagi nanti di akhirat dia harus mempertanggungjawabkan perbuatan syiriknya di hadapan Tuhan.
***
Hari ini, 12 September 2011, tepat tiga tahun sudah kepergian Pak Jamal. Terkadang masih terngiang pesan-pesan yang dulu pernah disampaikan oleh sahabat tuaku itu. Hidup memang susah apalagi dengan kondisi bangsa ini yang tak sanggup mendistribusikan kemakmuran bagi rakyatnya. Kemiskinan struktural tercipta dimana-mana. Tapi angka statistik menunjukkan peningkatan ekonomi yang semakin membaik. Angka dari mana itu? Lihat angka begitu saja pemerintah sudah senang. Sepertinya mata mereka saja yang harusnya dibutakan sebelah karena mereka tak mampu melihat keadaan sebagian rakyatnya yang masih berusaha setengah mati untuk memenuhi kebutuhan makan esok hari. Meski demikian sebagai umat beragama, harusnya kita mampu menyerahkan diri kita sepenuhnya pada Tuhan. Dalam jiwa manusia itu terdapat iman yang luar biasa dahsyatnya. Namun sayangnya tak semua mampu mendayagunakan kejernihannya dan memilih untuk lebih dekat dengan jalan sesat instant yang menggiurkan. Cerita yang sungguh dalam hikmahnya bagiku.
Rentetan kejadian tragis memang terbukti ampuh untuk membelokkan jalur kesadaran akal fikir manusia. Bagaimana tidak, otak manusia pada umumnya memang telah dirancang untuk aktif membela diri dan membentuk serangkaian tindakan yang diperlukan guna mempertahankan eksistensinya di bumi ini. Bahkan dari refleks sederhana, seperti halnya berkedip saat mata terancam, semua itu adalah kerja motorik yang sudah dirancang secara naluriah tanpa perlu berkuliah dahulu untuk mendapatkan kemampuan itu. Demikian halnya dengan hati. Jika otak adalah sentra berpikir yang sifatnya analitis maka hati adalah gumpalan daging yang diperlukan untuk mengontrol emosi dan sifat-sifat aksiologis lainnya dalam diri manusia. Jika otak adalah sumber dari logisitas dan rasionalitas berfikir maka hati adalah tempat bersemayamnya iman dalam diri seorang manusia. Inilah dua benda penting yang kemudian menjadi pembeda antara manusia dan hewan.
Apapun yang terjadi, otak dan hati harus tetap bersinergi dengan baik. Jika sinergi ini tidak terjaga maka sudah dapat dipastikan bahwa yang terjadi adalah keterpurukan. Masa-masa sulit akan dengan mudahnya merenggut iman, kejadian tragis akan menelantarkan seseorang bahkan di rumahnya sendiri.
Mantap
ReplyDelete