Kekalahan Timnas Sepakbola Indonesia

Sengaja saya tulis lengkap begitu (Timnas sepakbola Indonesia) karena dalam hati kecil saya yang terdalam ada sebuah ketidakrelaan ketika orang atau bahkan media masa menuliskan "Kekalahan Indonesia" di laman jejaring sosialnya atau mungkin di headline media naional. Kalau dimaknai lebih dalam dua frase tersebut sebenanrya memiliki jarak yang terlalu jauh untuk kemudian disamakan.

Ya, seperti yang (mungkin) telah kita saksikan bersama, baru saja timnas sepakbola kita mengalami kekalahan cukup menyakitkan di kandang sendiri. Dua gol bersarang di gawang yang dikawal oleh Markus Horison tanpa kemudian tidak ada satupun pemain sepakbola Indonesia yang berhasil membobol gawang Bahrain. Cukup menyakitkan bukan? Dan pastinya ada diantara kita yang sangat kecewa dengan hal ini.

Di sini saya tidak akan menyuguhkan sebuah analisis pertandingan, karena saya tidak ada ilmu untuk itu, terlebih lagi saya tidak terlibat langsung di lapangan. Jadi, alangkah tidak bijaknya saya apabila kemudian saya mencoba mengutarakan analisis saya seputar pertandingan tersebut.


Yang kemudian coba saya ungkap adalah (lagi-lagi) ulah para suporter Indonesia yang kurang dewasa dalam menikmati pertandingan tersebut. Telah diberikan aturan resmi oleh FIFA bahwa selama pertandingan berlangsung dilarang menyalakan petasan dan semacamnya karena hal tersebut berpotensi mengganggu jalannya pertandingan. Namun yang terjadi pada pertandingan tersebut justru ulah para suporter dengan semangat menyalakan petasan yang berakibat dihentikannya pertandingan selama 15 menit. Dan sebagai tambahannya, menurut komentator pertandingan, konon kabarnya Indonesia akan diberikan sanksi sebesar kurang lebih Rp. 200 juta oleh FIFA. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Di sini kemudian menjadi sedikit menarik, dimana saat terjadi ulah nakal suporter justru pada saat yang bersamaan itu bapak presiden hadir di tengah-tengah suporter (tentunya di ruang yang uper VIP). Bagaimana malunya (saya rasa) bapak presiden kita waktu itu karena ulah rakyatnya sendiri yang tidak bisa dewasa. Padahal, logikanya, kalau suatu event dihadiri oleh orang penting sekelas presiden seharusnya audience atau peserta yang terlibat di dalamnya haruslah menyuguhkan sikap yang hormat. Tetapi di pertandingan tersebut justru sebaliknya. Seorang presiden dibuat malu oleh kelakuan rakyatnya sendiri. Nah, harus dikuak lebih dalam, jangan-jangan sang presiden sudah tidak mendapat posisi yang layak lagi untuk dihormati karena sangat tidak mungkin kalau kehadiran presiden tersebut tidak diketahui. (Yang sabar saja ya Pak Beye, masa jabatan anda masih ada 3 tahun lagi).

Kembali kepada ulah suporter. Jika memang peraturan FIFA tersebut sudah tersosialisasikan ke federasi sepakbola nasional di masing-masing negara (dan harusnya sih memang sudah), sudah menjadi tanggung jawab bagi panitia penyelenggara untuk bisa mengkondisikan para suporter yang akan masuk ke stadion. Ada sweeping tegas yang semestinya harus dilakukan oleh panpel terlebih dahulu kepada para suporter sebelum memasuki stadion. Jika ini bisa dilakukan dengan tertib, kejadian memalukan tersebut tentunya tidak akan terjadi. Ini PR besar buat panitia, karena sedikit saja kesalahan atau bahkan kebodohan tentunya akan sangat merugikan timnas sepakbola kita.

Kita memang masih harus berusaha sedikit lebih "legowo" jika menghadapi para suporter sepakbola. Beberapa ulah mereka memang terkadang tidak menunjukkan sesuatu yang posisitf. Bahkan kerap kali diidentikkan dengan anarkisme dan premanisme. Namun kembali saya tegaskan, suporter sepakbola Indonesia sama sekali tidak bisa dijadikan tolok ukur terhadap kepribadian bangsa ini. Bahkan kekalahan timnas sepakbola Indonesia pun sangat tidak bisa untuk kemudian dijadikan ukuran seberapa besar bangsa ini berkembang. Sepakbola tetaplah sebuah olahraga dan sangat-sangat tidak bisa diidentikkan dengan nasionalisme. Jika ada sebagian orang yang berpendapat bahwa mendukung timnas sepakbola Indonesia adalah bentuk dari nasionalisme maka harus dipertanggungjawabkan apakah nasionalismenya itu akan berdampak pada kemajuan bangsa atau tidak.

Sementara itu jika kita berbicara mengenai kemajuan bangsa, maka sebenarnya harus dikembalikan pada sejauh mana bangsa ini bisa menjalankan amanat UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 telah menyebutkan apa saja yang harus dicapai oleh bangsa ini sejak dilahirkan, dan nasionalisme adalah jembatan emas yang kemudian menjadi penghubung antara bangsa ini dengan cita-cita luhurnya. Dan mari bertanya dalam hati, apakah dengan mati-matian mendukung timnas sepakbola kita, sampai harus memakai atribut-atribut mahal untuk itu sudah menjadi bentuk nasionalisme kita? Dan kalau ada di antara kita yang masih menjawab TIDAK maka ketahuilah hati kita telah terselamatkan. Bisa jadi begitu kuatnya atau bahkan fanatiknya mereka para pendukung timnas itu disebabkan oleh masifnya promosi yang dilakukan oleh agen-agen kapitalis sehingga muncul sikap yang demikian. Bisa jadi kefanatikan mereka itu karena suksesnya agenda komersialisasi dan kapitalisasi sepakbola yang kemudian "mendidik" kita untuk lebih konsumtif. sehingga harus dinalar kembali apakah sikap yang seperti itu benar-benar nasionalisme atau justru konsumerime.

Memang, semua hal yang kita kira biasa-biasa saja atau wajar adanya itu sebenarnya memiliki sisi yang amat negatif. Bukannya tidak boleh menikmati sepakbola atau bahkan berekspresi terhadap sepakbola. Boleh-boleh saja itu dilakukan, asalkan tidak membawa sesuatu yang sebenarnya kecil kepada sebuah pemahaman yang sangat jauh perbedaannya. Dan sangat tidak penting untuk kemudian mengatasnamakan diri sebagai seorang nasionalis hanya karena dia memiliki kedekatan hati terhadap timnas sepakbola Indonesia. Tempatkanlah itu di tempat yang sebenarnya. Karena sesungguhnya Bangsa ini memerlukan nasionalisme yang sejati. Dan "Kekalahan Indonesia" yang sebenarnya bisa saja terjadi justru di saat timnas sepakbola Indonesia kita mengalami kemenangan.

Jayalah negeriku, jayalah Indonesiaku. []

*) Pandangan Pribadi